Alkisah pada zaman dahulu kala, ada seekor burung Punai
besar yang sedang membuat sarangnya.
Setelah selesai sangkarnya itu, maka burung punai itu bertelur, dan kemudian mengeram hingga telurnya menetas.
Namun, tidak disangka- sangka, pada suatu hari datanglah seekor burung raksasa yang bernama tukuk solaai alur biduk, ekaap solaai dangau dungaap. Lantas burung raksasa itu hinggap di sarang burung punai tersebut.
Karena, burung itu terlalu besar, maka rusaklah sangkar burung punai yang tidak seberapa besar itu. Anak punai di dalam sangkarnya yang baru saja ditetas induk semaknya, lantas jatuh ke tanah dan mati. Burung raksasa itupun tidak mendapati anak burung punai yang sudah lebih dahulu terjatuh bersama sangkarnya ke tanah.
Induk semang burung punai tadi sangat bersedih dengan kejadian tersebut. Maka dengan rasa sedih ia membawa bangkai anaknya terbang mencari tempat yang baik dan aman untuk menguburkan bangkai anaknya itu.
Akhirnya, burung punai itu pergi ke rumah Ape, Rempiaaq, Noso dan Nonga untuk meminta sedikit tanah sebagai tempat mengubur anaknya itu.
Namun Noso, Nonga, Ape dan Rempiaaq tidak memberikan tanah yang diminta burung punai tersebut, karena mereka takut tanah milik mereka kotor oleh bangkai anak Punai tersebut. Karena tidak mendapatkan tanah untuk menguburkan anaknya itu, maka burung punai terbang lagi dan tanpa sengaja bertemu dengan perempuan tua yang sudah janda di sebuah rumah kecil yang sudah lapuk dan reot.
Lalu perempuan tua itu bertanya kepada burung punai, “Hai, burung punai. Mau apa kamu ke mari?”
Lantas burung punai itu menjawab, “Aku ke sini ingin meminta sepetak tanah yang kecil saja untuk menguburkan anakku ini.”
Kemudian dijawab perempuan tua itu, katanya, “Saya punya tanah di depan rumah di situ, maka silahkan kamu menguburkan anakmu di depan rumahku itu dan persis di dekat kuburan suami saya.”
Lalu burung punai itu menguburkan anaknya di samping makam suami perempuan janda tua itu.
Setelah penguburan anaknya selesai, maka burung punai yang malang berkata, “Tolong nenek tunggu kuburan anakku itu, nanti setelah 8 hari 8 malam, aku akan datang lagi ke sini.”
Memang benar, setelah 8 hari 8 malam, maka burung punai itu datang lagi untuk menengok kuburan anaknya. Kemudian terbang lagi dan genap 8 hari 8 malam yang kedua kalinya, maka ia datang lagi dan melihat bahwa kuburan anaknya itu bersih sekali, karena selalu dibersihkan oleh si janda tua.
Sebelum burung punai itu terbang lagi, maka ia berkata kepada nenek janda tua itu, “Aku akan datang untuk yang terakhir kalinya setelah 8 hari 8 malam.”
Sampai pada waktu yang dijanjikannya itu, maka datanglah burung punai itu untuk menengok kuburan anaknya, dan berkata kepada perempuan tua itu, katanya, “Segala yang terjadi dan yang ada pada kuburan anakku itu nanti, nenek ambil semuanya dan sekarang aku pergi untuk tidak kembali lagi.” Selesai berkata demikian, ia terbang meninggalkan perempuan tua di samping kuburan anaknya itu.
Pada malam harinya, maka hujan turun dengan derasnya secara terus menerus hingga menjelang dini hari.
Pada pagi harinya perempuan tua itu turun ke tanah, dan melihat kuburan anak punai. Sesampainya di kuburan anak punai itu, maka dilihatnya sesuatu yang sedang tumbuh, yaitu “teregaaq suliiq sie” dan “terogo tokooq walo,” yang makin hari bertambah besar dan tinggi pula pohon tumbuhan tersebut.
Setelah 8 hari 8 malam lamanya kemudian, maka daun pohon tumbuhan tersebut terbuka lebar sekali dan berwarna-warni dengan indahnya, kemudian berbuah yang beraneka macam.
Ternyata daun pohon kayu tersebut kini berubah menjadi kain batik yang bermacam ragam warnanya. Dan buahnya menjadi antang, mekau, jie, pingaatn dan lainnya yang juga bermacam ragam bentuknya dan ukuranya. Ada yang berukuran besar dan ada pula yang berukuran kecil. Juga buah kayu tersebut menjadi gong. Ada yang besar dan ada pula yang kecil.
Sampai waktu 8 hari 8 malam selanjutnya lagi, maka jatuhlah buah pohon itu ke tanah, maka ada yang menjadi teko, ceret, cangkir, gelas, piring, bascom, sendok dan lain-lain. Setelah itu, robohlah pohon kayu itu dan berubah menjadi lamin yang sangat besar.
Segala kekayaan berupa barang-barang tersebut tadi disimpan dengan rapi oleh perempuan tua itu di dalam lamin besar tersebut.
Mulai saat itu perempuan tua itu menjadi kaya raya. Segala kebutuhan hidupnya tersedia. Kini hidupnya tidak lagi kekurangan suatu apa pun.
Dengan penuh rasa bahagia dan bangga, maka perempuan tua itu memukul gong, sehingga terdengarlah bunyinya oleh Noso, Nonga, Ape dan Rempiaaq bersama semua keluarganya dari Tanyuukng Lahuukng. Lantas mereka datang ke rumah perempuan tua itu.
Setelah sampai di rumah perempuan janda tua itu, mereka heran dan bertanya, “Dari mana nenek memperoleh lamin besar dan kekayaan ini?”
Lalu dijawab perempuan tua itu, “Saya memperoleh dari pohon kayu yang tumbuh di atas kuburan anak punai yang dikuburkan di depan rumah saya.”
Melihat demikian, maka Noso, Nonga, Ape dan Rempiaq bersama semua keluarganya sangat menyesal atas penolakan mereka akan permintaan burung punai dulu itu.
Kini mereka melihat dengan matanya sendiri, betapa perempuan tua itu telah menjadi kaya raya berkat kebaikan hatinya. Tak diduga bahwa burung punai yang malang itu pun punyai rencana mulia untuk membantu orang-orang yang berkehendak baik dan murah hati terhadap dirinya yang sedang tertimpa kemalangan.
Sang janda tua yang hidup susah itu kini menjadi kaya raya untuk selama-lamanya. Walau hidup janda seorang diri, namun ia berbahagia selama hayat dikandung badang, selama jantung berdenyut dan darah masih mengalir.
Setelah selesai sangkarnya itu, maka burung punai itu bertelur, dan kemudian mengeram hingga telurnya menetas.
Namun, tidak disangka- sangka, pada suatu hari datanglah seekor burung raksasa yang bernama tukuk solaai alur biduk, ekaap solaai dangau dungaap. Lantas burung raksasa itu hinggap di sarang burung punai tersebut.
Karena, burung itu terlalu besar, maka rusaklah sangkar burung punai yang tidak seberapa besar itu. Anak punai di dalam sangkarnya yang baru saja ditetas induk semaknya, lantas jatuh ke tanah dan mati. Burung raksasa itupun tidak mendapati anak burung punai yang sudah lebih dahulu terjatuh bersama sangkarnya ke tanah.
Induk semang burung punai tadi sangat bersedih dengan kejadian tersebut. Maka dengan rasa sedih ia membawa bangkai anaknya terbang mencari tempat yang baik dan aman untuk menguburkan bangkai anaknya itu.
Akhirnya, burung punai itu pergi ke rumah Ape, Rempiaaq, Noso dan Nonga untuk meminta sedikit tanah sebagai tempat mengubur anaknya itu.
Namun Noso, Nonga, Ape dan Rempiaaq tidak memberikan tanah yang diminta burung punai tersebut, karena mereka takut tanah milik mereka kotor oleh bangkai anak Punai tersebut. Karena tidak mendapatkan tanah untuk menguburkan anaknya itu, maka burung punai terbang lagi dan tanpa sengaja bertemu dengan perempuan tua yang sudah janda di sebuah rumah kecil yang sudah lapuk dan reot.
Lalu perempuan tua itu bertanya kepada burung punai, “Hai, burung punai. Mau apa kamu ke mari?”
Lantas burung punai itu menjawab, “Aku ke sini ingin meminta sepetak tanah yang kecil saja untuk menguburkan anakku ini.”
Kemudian dijawab perempuan tua itu, katanya, “Saya punya tanah di depan rumah di situ, maka silahkan kamu menguburkan anakmu di depan rumahku itu dan persis di dekat kuburan suami saya.”
Lalu burung punai itu menguburkan anaknya di samping makam suami perempuan janda tua itu.
Setelah penguburan anaknya selesai, maka burung punai yang malang berkata, “Tolong nenek tunggu kuburan anakku itu, nanti setelah 8 hari 8 malam, aku akan datang lagi ke sini.”
Memang benar, setelah 8 hari 8 malam, maka burung punai itu datang lagi untuk menengok kuburan anaknya. Kemudian terbang lagi dan genap 8 hari 8 malam yang kedua kalinya, maka ia datang lagi dan melihat bahwa kuburan anaknya itu bersih sekali, karena selalu dibersihkan oleh si janda tua.
Sebelum burung punai itu terbang lagi, maka ia berkata kepada nenek janda tua itu, “Aku akan datang untuk yang terakhir kalinya setelah 8 hari 8 malam.”
Sampai pada waktu yang dijanjikannya itu, maka datanglah burung punai itu untuk menengok kuburan anaknya, dan berkata kepada perempuan tua itu, katanya, “Segala yang terjadi dan yang ada pada kuburan anakku itu nanti, nenek ambil semuanya dan sekarang aku pergi untuk tidak kembali lagi.” Selesai berkata demikian, ia terbang meninggalkan perempuan tua di samping kuburan anaknya itu.
Pada malam harinya, maka hujan turun dengan derasnya secara terus menerus hingga menjelang dini hari.
Pada pagi harinya perempuan tua itu turun ke tanah, dan melihat kuburan anak punai. Sesampainya di kuburan anak punai itu, maka dilihatnya sesuatu yang sedang tumbuh, yaitu “teregaaq suliiq sie” dan “terogo tokooq walo,” yang makin hari bertambah besar dan tinggi pula pohon tumbuhan tersebut.
Setelah 8 hari 8 malam lamanya kemudian, maka daun pohon tumbuhan tersebut terbuka lebar sekali dan berwarna-warni dengan indahnya, kemudian berbuah yang beraneka macam.
Ternyata daun pohon kayu tersebut kini berubah menjadi kain batik yang bermacam ragam warnanya. Dan buahnya menjadi antang, mekau, jie, pingaatn dan lainnya yang juga bermacam ragam bentuknya dan ukuranya. Ada yang berukuran besar dan ada pula yang berukuran kecil. Juga buah kayu tersebut menjadi gong. Ada yang besar dan ada pula yang kecil.
Sampai waktu 8 hari 8 malam selanjutnya lagi, maka jatuhlah buah pohon itu ke tanah, maka ada yang menjadi teko, ceret, cangkir, gelas, piring, bascom, sendok dan lain-lain. Setelah itu, robohlah pohon kayu itu dan berubah menjadi lamin yang sangat besar.
Segala kekayaan berupa barang-barang tersebut tadi disimpan dengan rapi oleh perempuan tua itu di dalam lamin besar tersebut.
Mulai saat itu perempuan tua itu menjadi kaya raya. Segala kebutuhan hidupnya tersedia. Kini hidupnya tidak lagi kekurangan suatu apa pun.
Dengan penuh rasa bahagia dan bangga, maka perempuan tua itu memukul gong, sehingga terdengarlah bunyinya oleh Noso, Nonga, Ape dan Rempiaaq bersama semua keluarganya dari Tanyuukng Lahuukng. Lantas mereka datang ke rumah perempuan tua itu.
Setelah sampai di rumah perempuan janda tua itu, mereka heran dan bertanya, “Dari mana nenek memperoleh lamin besar dan kekayaan ini?”
Lalu dijawab perempuan tua itu, “Saya memperoleh dari pohon kayu yang tumbuh di atas kuburan anak punai yang dikuburkan di depan rumah saya.”
Melihat demikian, maka Noso, Nonga, Ape dan Rempiaq bersama semua keluarganya sangat menyesal atas penolakan mereka akan permintaan burung punai dulu itu.
Kini mereka melihat dengan matanya sendiri, betapa perempuan tua itu telah menjadi kaya raya berkat kebaikan hatinya. Tak diduga bahwa burung punai yang malang itu pun punyai rencana mulia untuk membantu orang-orang yang berkehendak baik dan murah hati terhadap dirinya yang sedang tertimpa kemalangan.
Sang janda tua yang hidup susah itu kini menjadi kaya raya untuk selama-lamanya. Walau hidup janda seorang diri, namun ia berbahagia selama hayat dikandung badang, selama jantung berdenyut dan darah masih mengalir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar