Dulu, Dumai hanyalah sebuah dusun nelayan yang sepi,
berada di pesisir Timur Propinsi Riau, Indonesia. Kini, Dumai yang kaya dengan
minyak bumi itu, menjelma menjadi kota pelabuhan minyak yang sangat ramai sejak
tahun 1999. Kapal-kapal tangki minyak raksasa setiap hari singgah dan merapat
di pelabuhan ini. Kilang-kilang minyak yang tumbuh menjamur di sekitar
pelabuhan menjadikan Kota Dumai pada malam hari gemerlapan bak permata
berkilauan. Kekayaan Kota Dumai yang lain adalah keanekaragaman tradisi. Ada
dua tradisi yang sejak lama berkembang di kalangan masyarakat kota Dumai yaitu
tradisi tulisan dan lisan. Salah satu tradisi lisan yang sangat populer di
daerah ini adalah cerita-cerita rakyat yang dituturkan secara turun-temurun.
Sampai saat ini, Kota Dumai masih menyimpan sejumlah cerita rakyat yang
digemari dan memiliki fungsi moral yang amat penting bagi kehidupan masyarakat,
misalnya sebagai alat pendidikan, pengajaran moral, hiburan, dan sebagainya. Salah
satu cerita rakyat yang masih berkembang di Dumai adalah Legenda Putri
Tujuh. Cerita legenda ini mengisahkan tentang asal-mula nama Kota Dumai.
Konon, pada zaman dahulu kala, di daerah Dumai berdiri
sebuah kerajaan bernama Seri Bunga Tanjung. Kerajaan ini diperintah oleh
seorang Ratu yang bernama Cik Sima. Ratu ini memiliki tujuh orang putri yang
elok nan rupawan, yang dikenal dengan Putri Tujuh. Dari ketujuh putri tersebut,
putri bungsulah yang paling cantik, namanya Mayang Sari. Putri Mayang Sari
memiliki keindahan tubuh yang sangat mempesona, kulitnya lembut bagai sutra,
wajahnya elok berseri bagaikan bulan purnama, bibirnya merah bagai delima,
alisnya bagai semut beriring, rambutnya yang panjang dan ikal terurai bagai
mayang. Karena itu, sang Putri juga dikenal dengan sebutan Mayang Mengurai.
Pada suatu hari, ketujuh putri itu sedang mandi di lubuk
Sarang Umai. Karena asyik berendam dan bersendau gurau, ketujuh putri itu tidak
menyadari ada beberapa pasang mata yang sedang mengamati mereka, yang ternyata
adalah Pangeran Empang Kuala dan para pengawalnya yang kebetulan lewat di
daerah itu. Mereka mengamati ketujuh putri tersebut dari balik semak-semak.
Secara diam-diam, sang Pangeran terpesona melihat kecantikan salah satu putri
yang tak lain adalah Putri Mayang Sari. Tanpa disadari, Pangeran Empang Kuala
bergumam lirih, “Gadis cantik di lubuk Umai....cantik di Umai. Ya,
ya.....d‘umai...d‘umai....” Kata-kata itu terus terucap dalam hati Pangeran
Empang Kuala. Rupanya, sang Pangeran jatuh cinta kepada sang Putri. Karena itu,
sang Pangeran berniat untuk meminangnya.
Beberapa hari kemudian, sang Pangeran mengirim utusan
untuk meminang putri itu yang diketahuinya bernama Mayang Mengurai. Utusan
tersebut mengantarkan tepak sirih sebagai pinangan adat kebesaran raja kepada
Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Pinangan itu pun disambut oleh Ratu Cik
Sima dengan kemuliaan adat yang berlaku di Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Sebagai
balasan pinangan Pangeran Empang Kuala, Ratu Cik Sima pun menjunjung tinggi
adat kerajaan yaitu mengisi pinang dan gambir pada combol paling besar di
antara tujuh buah combol yang ada di dalam tepak itu. Enam buah combol lainnya
sengaja tak diisinya, sehingga tetap kosong. Adat ini melambangkan bahwa putri
tertualah yang berhak menerima pinangan terlebih dahulu.
Mengetahui pinangan Pangerannya ditolak, utusan tersebut
kembali menghadap kepada sang Pangeran. “Ampun Baginda Raja! Hamba tak ada
maksud mengecewakan Tuan. Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung belum bersedia
menerima pinangan Tuan untuk memperistrikan Putri Mayang Mengurai.” Mendengar
laporan itu, sang Raja pun naik pitam karena rasa malu yang amat sangat. Sang
Pangeran tak lagi peduli dengan adat yang berlaku di negeri Seri Bunga Tanjung.
Amarah yang menguasai hatinya tak bisa dikendalikan lagi. Sang Pangeran pun
segera memerintahkan para panglima dan prajuritnya untuk menyerang Kerajaan
Seri Bunga Tanjung. Maka, pertempuran antara kedua kerajaan di pinggiran Selat
Malaka itu tak dapat dielakkan lagi.
Di tengah berkecamuknya perang tersebut, Ratu Cik Sima
segera melarikan ketujuh putrinya ke dalam hutan dan menyembunyikan mereka di
dalam sebuah lubang yang beratapkan tanah dan terlindung oleh pepohonan. Tak
lupa pula sang Ratu membekali ketujuh putrinya makanan yang cukup untuk tiga
bulan. Setelah itu, sang Ratu kembali ke kerajaan untuk mengadakan perlawanan
terhadap pasukan Pangeran Empang Kuala. Sudah 3 bulan berlalu, namun
pertempuran antara kedua kerajaan itu tak kunjung usai. Setelah memasuki bulan
keempat, pasukan Ratu Cik Sima semakin terdesak dan tak berdaya. Akhirnya,
Negeri Seri Bunga Tanjung dihancurkan, rakyatnya banyak yang tewas. Melihat
negerinya hancur dan tak berdaya, Ratu Cik Sima segera meminta bantuan jin yang
sedang bertapa di bukit Hulu Sungai Umai.
Pada suatu senja, pasukan Pangeran Empang Kuala sedang beristirahat
di hilir Umai. Mereka berlindung di bawah pohon-pohon bakau. Namun, menjelang
malam terjadi peristiwa yang sangat mengerikan. Secara tiba-tiba mereka
tertimpa beribu-ribu buah bakau yang jatuh dan menusuk ke badan para pasukan
Pangeran Empang Kuala. Tak sampai separuh malam, pasukan Pangeran Empang Kaula
dapat dilumpuhkan. Pada saat pasukan Kerajaan Empang Kuala tak berdaya,
datanglah utusan Ratu Cik Sima menghadap Pangeran Empang Kuala.
Melihat kedatangan utusan tersebut, sang Pangeran yang
masih terduduk lemas menahan sakit langsung bertanya, “Hai orang Seri Bunga
Tanjung, apa maksud kedatanganmu ini?”. Sang Utusan menjawab, “Hamba datang
untuk menyampaikan pesan Ratu Cik Sima agar Pangeran berkenan menghentikan
peperangan ini. Perbuatan kita ini telah merusakkan bumi sakti rantau bertuah
dan menodai pesisir Seri Bunga Tanjung. Siapa yang datang dengan niat buruk,
malapetaka akan menimpa, sebaliknya siapa yang datang dengan niat baik ke
negeri Seri Bunga Tanjung, akan sejahteralah hidupnya,” kata utusan Ratu Cik
Sima menjelaskan. Mendengar penjelasan utusan Ratu Cik Sima, sadarlah Pangeran
Empang Kuala, bahwa dirinyalah yang memulai peperangan tersebut. Pangeran
langsung memerintahkan pasukannya agar segera pulang ke Negeri Empang Kuala.
Keesokan harinya, Ratu Cik Sima bergegas mendatangi
tempat persembunyian ketujuh putrinya di dalam hutan. Alangkah terkejutnya Ratu
Cik Sima, karena ketujuh putrinya sudah dalam keadaan tak bernyawa. Mereka mati
karena haus dan lapar. Ternyata Ratu Cik Sima lupa, kalau bekal yang disediakan
hanya cukup untuk tiga bulan. Sedangkan perang antara Ratu Cik Sima dengan
Pangeran Empang Kuala berlangsung sampai empat bulan.
Akhirnya, karena tak kuat menahan kesedihan atas kematian
ketujuh putrinya, maka Ratu Cik Sima pun jatuh sakit dan tak lama kemudian
meninggal dunia. Sampai kini, pengorbanan Putri Tujuh itu tetap dikenang dalam
sebuah lirik:
Umbut mari mayang diumbut
Mari diumbut di rumpun buluh
Jemput mari dayang dijemput
Mari dijemput turun bertujuh
Mari diumbut di rumpun buluh
Jemput mari dayang dijemput
Mari dijemput turun bertujuh
Ketujuhnya berkain serong
Ketujuhnya bersubang gading
Ketujuhnya bersanggul sendeng
Ketujuhnya memakai pending
Ketujuhnya bersubang gading
Ketujuhnya bersanggul sendeng
Ketujuhnya memakai pending
Sejak peristiwa itu, masyarakat Dumai meyakini bahwa nama
kota Dumai diambil dari kata “d‘umai” yang selalu diucapkan Pangeran Empang
Kuala ketika melihat kecantikan Putri Mayang Sari atau Mayang Mengurai. Di
Dumai juga bisa dijumpai situs bersejarah berupa pesanggarahan Putri Tujuh yang
terletak di dalam komplek kilang minyak PT Pertamina Dumai. Selain itu, ada
beberapa nama tempat di kota Dumai yang diabadikan untuk mengenang peristiwa
itu, di antaranya: kilang minyak milik Pertamina Dumai diberi nama Putri Tujuh;
bukit hulu Sungai Umai tempat pertapaan Jin diberi nama Bukit Jin. Kemudian
lirik Tujuh Putri sampai sekarang dijadikan nyanyian pengiring Tari
Pulai dan Asyik Mayang bagi para tabib saat mengobati orang sakit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar