Selasa, 23 September 2014

Siapa YangLebih Dulu,Nabi Adam Atau Manusia Purba?

Manakah yang lebih dulu ada, Nabi Adamkah atau manusia purbakah? Mungkin Anda sempat bingung, menurut keyakinan Islam, Adam adalah manusia pertama. Tapi di sisi lain ada fakta penemuan fosil manusia purba yang telah berusia jutaan tahun.

Ada yang menyimpulkan bahwa Adam tetap manusia pertama, Adam adalah nenek moyang manusia purba dan manusia yang ada sekarang, lalu menyimpulkan Adam telah berusia jutaan tahun yang menjadi nenek moyang semua manusia.

Bahkan ada yang terpengaruh teori evolusi, dan menyimpulkan bahwa Adam bukanlah manusia pertama, Adam adalah keturunan dari manusia purba, sedangkan manusia purba adalah berasal dari jenis kera. Na’udzubillah.

Data tambahan berikut ini semoga bisa dijadikan benang merah yang dijadikan pijakan tentang mana yang lebih dulu antara Adam dan manusia purba.

Pertama, menurut penemuan fosil-fosil manusia purba di abad-abad akhir ini disimpulkan bahwa para manusia purba ini hidup JUTAAN tahun lalu. Semoga kesimpulan arkeolog ini benar, sebab kesimpulan usia fosil ini menjadi penentu posisi ‘manusia purba’ ini selanjutnya.

Kedua. Bangsa Arab dikenal sangat hafal silsilah nenek moyangnya, bahkan banyak orang Arab yang bisa hafal silsilahnya hingga Nabi Adam as. Dari data yang tertulis maupun hafalan bangsa Arab akan silsilah mereka ini, disimpulkan bahwa Nabi Adam a.s. hidup sekitar 6.000 (ENAM RIBU) tahun silam. Data ini cukup valid, mengingat kemampuan menghafal silsilah (dan banyak hal) dalam bangsa Arab merupakan suatu yang meyakinkan.

Jadi siapakah manusia yang lebih dulu? Dari dua data di atas maka bisa disimpulkan bahwa manusia purba ada terlebih dahulu dibandingkan dengan Nabi Adam a.s.

Jadi, Adam tetap Manusia Pertama?
Dalam banyak nash Al-Quran disebutkan bahwa Adam adalah manusia pertama, ia diciptakan dari tanah langsung, dan dia tidak berayah dan tidak beribu. Pernyataan inilah yang menjadi dasar Islam tentang konsep “asal usul manusia”. Kemunculan Adam yang tidak berayah dan beribu dan diciptakan langsung dari tanah menegaskan konsep Islam bahwa Adam “tetap” Manusia Pertama, setidaknya Manusia Pertama dari jenisnya. Dari dialah kemudian muncul manusia termasuk kita sekarang. Sehingga kita sering disebut sebagai “bani Adam” atau “keturunan Adam”.

Jika dilihat dari silsilah yang terekam oleh bangsa Arab di atas, dapat disimpulkan bahwa Adam dan keturunannya yang ada sekarang telah ada di muka bumi sejak 6.000-an tahun lalu. Tetapi usia ini tergolong sangat muda dibanding dengan fosil manusia purba yang diperkirakan telah berusia JUTAAN tahun. Sekalipun muncul fakta ada manusia purba yang telah berusia jutaan tahun mendahului Adam yang baru ribuan tahun, konsep Islam bahwa “Adam adalah manusia pertama” tidaklah berubah. Menurut agama Islam, kedudukan Adam sebagai manusia pertama dari “jenis manusia” yang ada sekarang ini. Bila kemudian ditemukan fakta bahwa sebelumnya ada “manusia purba”, maka manusia purba yang itu tentu “berbeda” dengan manusia dari jenis Adam dan keturunannya.

Keunggulan Manusia Keturunan Adam
Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 30 dijelaskan bahwa Allah mengumumkan kepada para malaikat akan menjadikan khalifah (manusia) di muka bumi. Pengumuman ini disambut kekhawatiran para malaikat bahwa manusia nanti akan membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah sesamanya. Sebagian ulama berpendapat, bahwa kekhawatiran para malaikat ini berkaca dari “manusia pendahulunya” yang pernah mendiami bumi dan mengadakan kerusakan serta menumpahkan darah, sehingga mereka punah. Manusia pendahulu inilah yang saat ini ditemukan fosilnya dan kita namai sebagai manusia purba.

Dalam QS. Al-Baqarah 30 disebutkan: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Menanggapi kekhawatiran para Malaikat itu, Allah menyatakan dalam ayat berikutnya bahwa sosok manusia “yang kali ini” Dia ciptakan akan dibekalinya “ilmu seluruhnya” (ilmu yang sempurna). Penekanan pemberian bekal ilmu inilah yang seolah menjadi inti perbedaan “manusia” yang akan diciptakan ini dibandingkan dengan “makhluk lain” (dibandingkan jin, malaikat dan dibandingkan pendahulunya yaitu manusia purba).

Disebutkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 31. Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"

QS. Al-Baqarah ayat 33. Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"

Dari data-data dan kajian singkat di atas, bisa kita gambarkan kesimpulan sebagai berikut:

Pertama. Ketika Adam dan manusia keturunannya belum diciptakan, di muka bumi ini pernah hidup sejenis manusia yang secara fisik mereka hampir seperti manusia sekarang, mereka memiliki nafsu dan insting untuk hidup tetapi mereka belum diberi “ilmu pengetahuan yang sempurna” oleh Allah, sehingga karenanyalah mereka sering mengadakan kerusakan di muka bumi dan menumpahkan darah di antara sesama mereka. Dan karena itulah mereka punah.

Manusia-manusia inilah yang fosilnya kita temukan sekarang dan kita namai sebagai MANUSIA PURBA. Manusia-manusia jenis ini hampir punah seluruhnya dan tidak tersambung dengan Adam dan keturunannya. Seandainya masih ada keturunan manusia purba, mereka jumlahnya amat sedikit dan hidupnya di pedalaman, dan yang terpenting tingkat kemampuan berfikir dan teknologi mereka tentu sangat rendah, dan hampir-hampir tidak bisa kita lihat sisi "kemanusiaan"nya.

Kedua. Setelah kepunahan manusia purba untuk sekian lamanya, barulah Allah menciptakan jenis manusia baru yang “berbeda”. Manusia jenis ini dibekali nafsu dan insting untuk hidup, namun juga dibekali “ilmu pengetahuan yang sempurna” termasuk diturunkannya agama (QS. Al-Baqarah 31-33). Adam-lah yang menjadi manusia pertama yang diciptakan dari jenis ini. Penciptaan “manusia purba” yang punah itu menjadi pelajaran bagi Adam dan keturunannya, bahwa manusia tanpa “ilmu pengetahuan dan agama” hanya akan menciptakan kerusakan di bumi dan menumpahkan darah sesamanya, dan inilah yang menjadi penyebab punahnya mereka.

Jadi, manusia yang hidup di bumi saat ini merupakan keturunan Adam seluruhnya. Tidak ada satupun yang merupakan keturunan manusia purba. Manusia purba benar-benar sudah punah. Fosil-fosil manusia purba yang ditemukan di Jawa-Indonesia kalaulah benar usianya sudah jutaan tahun, maka bukanlah nenek moyang asli dari penduduk Jawa sekarang ini, begitu juga fosil-fosil di tempat lain bukanlah nenek moyang dari manusia yang ada sekarang.

Asal Mula Kota Dumai

Dulu, Dumai hanyalah sebuah dusun nelayan yang sepi, berada di pesisir Timur Propinsi Riau, Indonesia. Kini, Dumai yang kaya dengan minyak bumi itu, menjelma menjadi kota pelabuhan minyak yang sangat ramai sejak tahun 1999. Kapal-kapal tangki minyak raksasa setiap hari singgah dan merapat di pelabuhan ini. Kilang-kilang minyak yang tumbuh menjamur di sekitar pelabuhan menjadikan Kota Dumai pada malam hari gemerlapan bak permata berkilauan. Kekayaan Kota Dumai yang lain adalah keanekaragaman tradisi. Ada dua tradisi yang sejak lama berkembang di kalangan masyarakat kota Dumai yaitu tradisi tulisan dan lisan. Salah satu tradisi lisan yang sangat populer di daerah ini adalah cerita-cerita rakyat yang dituturkan secara turun-temurun. Sampai saat ini, Kota Dumai masih menyimpan sejumlah cerita rakyat yang digemari dan memiliki fungsi moral yang amat penting bagi kehidupan masyarakat, misalnya sebagai alat pendidikan, pengajaran moral, hiburan, dan sebagainya. Salah satu cerita rakyat yang masih berkembang di Dumai adalah Legenda Putri Tujuh. Cerita legenda ini mengisahkan tentang asal-mula nama Kota Dumai.
Konon, pada zaman dahulu kala, di daerah Dumai berdiri sebuah kerajaan bernama Seri Bunga Tanjung. Kerajaan ini diperintah oleh seorang Ratu yang bernama Cik Sima. Ratu ini memiliki tujuh orang putri yang elok nan rupawan, yang dikenal dengan Putri Tujuh. Dari ketujuh putri tersebut, putri bungsulah yang paling cantik, namanya Mayang Sari. Putri Mayang Sari memiliki keindahan tubuh yang sangat mempesona, kulitnya lembut bagai sutra, wajahnya elok berseri bagaikan bulan purnama, bibirnya merah bagai delima, alisnya bagai semut beriring, rambutnya yang panjang dan ikal terurai bagai mayang. Karena itu, sang Putri juga dikenal dengan sebutan Mayang Mengurai.
Pada suatu hari, ketujuh putri itu sedang mandi di lubuk Sarang Umai. Karena asyik berendam dan bersendau gurau, ketujuh putri itu tidak menyadari ada beberapa pasang mata yang sedang mengamati mereka, yang ternyata adalah Pangeran Empang Kuala dan para pengawalnya yang kebetulan lewat di daerah itu. Mereka mengamati ketujuh putri tersebut dari balik semak-semak. Secara diam-diam, sang Pangeran terpesona melihat kecantikan salah satu putri yang tak lain adalah Putri Mayang Sari. Tanpa disadari, Pangeran Empang Kuala bergumam lirih, “Gadis cantik di lubuk Umai....cantik di Umai. Ya, ya.....d‘umai...d‘umai....” Kata-kata itu terus terucap dalam hati Pangeran Empang Kuala. Rupanya, sang Pangeran jatuh cinta kepada sang Putri. Karena itu, sang Pangeran berniat untuk meminangnya.
Beberapa hari kemudian, sang Pangeran mengirim utusan untuk meminang putri itu yang diketahuinya bernama Mayang Mengurai. Utusan tersebut mengantarkan tepak sirih sebagai pinangan adat kebesaran raja kepada Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Pinangan itu pun disambut oleh Ratu Cik Sima dengan kemuliaan adat yang berlaku di Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Sebagai balasan pinangan Pangeran Empang Kuala, Ratu Cik Sima pun menjunjung tinggi adat kerajaan yaitu mengisi pinang dan gambir pada combol paling besar di antara tujuh buah combol yang ada di dalam tepak itu. Enam buah combol lainnya sengaja tak diisinya, sehingga tetap kosong. Adat ini melambangkan bahwa putri tertualah yang berhak menerima pinangan terlebih dahulu.
Mengetahui pinangan Pangerannya ditolak, utusan tersebut kembali menghadap kepada sang Pangeran. “Ampun Baginda Raja! Hamba tak ada maksud mengecewakan Tuan. Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung belum bersedia menerima pinangan Tuan untuk memperistrikan Putri Mayang Mengurai.” Mendengar laporan itu, sang Raja pun naik pitam karena rasa malu yang amat sangat. Sang Pangeran tak lagi peduli dengan adat yang berlaku di negeri Seri Bunga Tanjung. Amarah yang menguasai hatinya tak bisa dikendalikan lagi. Sang Pangeran pun segera memerintahkan para panglima dan prajuritnya untuk menyerang Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Maka, pertempuran antara kedua kerajaan di pinggiran Selat Malaka itu tak dapat dielakkan lagi.
Di tengah berkecamuknya perang tersebut, Ratu Cik Sima segera melarikan ketujuh putrinya ke dalam hutan dan menyembunyikan mereka di dalam sebuah lubang yang beratapkan tanah dan terlindung oleh pepohonan. Tak lupa pula sang Ratu membekali ketujuh putrinya makanan yang cukup untuk tiga bulan. Setelah itu, sang Ratu kembali ke kerajaan untuk mengadakan perlawanan terhadap pasukan Pangeran Empang Kuala. Sudah 3 bulan berlalu, namun pertempuran antara kedua kerajaan itu tak kunjung usai. Setelah memasuki bulan keempat, pasukan Ratu Cik Sima semakin terdesak dan tak berdaya. Akhirnya, Negeri Seri Bunga Tanjung dihancurkan, rakyatnya banyak yang tewas. Melihat negerinya hancur dan tak berdaya, Ratu Cik Sima segera meminta bantuan jin yang sedang bertapa di bukit Hulu Sungai Umai.
Pada suatu senja, pasukan Pangeran Empang Kuala sedang beristirahat di hilir Umai. Mereka berlindung di bawah pohon-pohon bakau. Namun, menjelang malam terjadi peristiwa yang sangat mengerikan. Secara tiba-tiba mereka tertimpa beribu-ribu buah bakau yang jatuh dan menusuk ke badan para pasukan Pangeran Empang Kuala. Tak sampai separuh malam, pasukan Pangeran Empang Kaula dapat dilumpuhkan. Pada saat pasukan Kerajaan Empang Kuala tak berdaya, datanglah utusan Ratu Cik Sima menghadap Pangeran Empang Kuala.
Melihat kedatangan utusan tersebut, sang Pangeran yang masih terduduk lemas menahan sakit langsung bertanya, “Hai orang Seri Bunga Tanjung, apa maksud kedatanganmu ini?”. Sang Utusan menjawab, “Hamba datang untuk menyampaikan pesan Ratu Cik Sima agar Pangeran berkenan menghentikan peperangan ini. Perbuatan kita ini telah merusakkan bumi sakti rantau bertuah dan menodai pesisir Seri Bunga Tanjung. Siapa yang datang dengan niat buruk, malapetaka akan menimpa, sebaliknya siapa yang datang dengan niat baik ke negeri Seri Bunga Tanjung, akan sejahteralah hidupnya,” kata utusan Ratu Cik Sima menjelaskan. Mendengar penjelasan utusan Ratu Cik Sima, sadarlah Pangeran Empang Kuala, bahwa dirinyalah yang memulai peperangan tersebut. Pangeran langsung memerintahkan pasukannya agar segera pulang ke Negeri Empang Kuala.
Keesokan harinya, Ratu Cik Sima bergegas mendatangi tempat persembunyian ketujuh putrinya di dalam hutan. Alangkah terkejutnya Ratu Cik Sima, karena ketujuh putrinya sudah dalam keadaan tak bernyawa. Mereka mati karena haus dan lapar. Ternyata Ratu Cik Sima lupa, kalau bekal yang disediakan hanya cukup untuk tiga bulan. Sedangkan perang antara Ratu Cik Sima dengan Pangeran Empang Kuala berlangsung sampai empat bulan.
Akhirnya, karena tak kuat menahan kesedihan atas kematian ketujuh putrinya, maka Ratu Cik Sima pun jatuh sakit dan tak lama kemudian meninggal dunia. Sampai kini, pengorbanan Putri Tujuh itu tetap dikenang dalam sebuah lirik:

Umbut mari mayang diumbut
Mari diumbut di rumpun buluh
Jemput mari dayang dijemput
Mari dijemput turun bertujuh
Ketujuhnya berkain serong
Ketujuhnya bersubang gading
Ketujuhnya bersanggul sendeng
Ketujuhnya memakai pending

Sejak peristiwa itu, masyarakat Dumai meyakini bahwa nama kota Dumai diambil dari kata “d‘umai” yang selalu diucapkan Pangeran Empang Kuala ketika melihat kecantikan Putri Mayang Sari atau Mayang Mengurai. Di Dumai juga bisa dijumpai situs bersejarah berupa pesanggarahan Putri Tujuh yang terletak di dalam komplek kilang minyak PT Pertamina Dumai. Selain itu, ada beberapa nama tempat di kota Dumai yang diabadikan untuk mengenang peristiwa itu, di antaranya: kilang minyak milik Pertamina Dumai diberi nama Putri Tujuh; bukit hulu Sungai Umai tempat pertapaan Jin diberi nama Bukit Jin. Kemudian lirik Tujuh Putri sampai sekarang dijadikan nyanyian pengiring Tari Pulai dan Asyik Mayang bagi para tabib saat mengobati orang sakit


Si Miskin Yang Tamak

Alkisah di Riau pada jaman dahulu kala hiduplah sepasang suami istri yang sangat miskin. Mereka hidup serba kekurangan karena penghasilan mereka tidak bisa mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Jangankan untuk membeli lauk pauk, untuk mendapatkan beras pun kadang-kadang harus berhutang pada tetangga. Hidup mereka benar-benar memprihatinkan.

Suatu hari pak Miskin bermimpi. Seorang kakek datang menemuinya dan memberikannya seutas tali.
“Hai Miskin! Besok pergilah merakit dan carilah sebuah mata air di sungai Sepunjung!” kata si kakek yang kemudian menghilang.

Pak Miskin terbangun dengan bingung. “Wahai, mimpi apa aku tadi? Kenapa kakek tadi menyuruhku pergi merakit?” kata pak Miskin dalam hati.

Hari masih pagi, ketika pak Miskin akhirnya memutuskan untuk mengikuti pesan si kakek.
“Tidak ada salahnya mencoba. Siapa tahu aku mendapatkan keberuntungan,” pikir pak Miskin.

Maka pergilah ia dengan menggunakan perahu satu-satunya. Dia terus mendayung di sepanjang sungai sambil mencari mata air yang dimaksud si kakek dalam mimpinya. Tidak berapa lama dilihatnya riakan air di pinggir sungai pertanda bahwa di bawah sungai itu terdapat mata air.
“Hmmm, mungkin ini mata air yang dimaksud,” pikir pak Miskin.

Dia menengok ke kanan dan ke kiri mencari si kakek dalam mimpinya. Namun hingga lelah lehernya, si kakek tidak juga kelihatan.

Ketika dia sudah mulai tidak sabar, tiba-tiba muncullah seutas tali di samping perahunya. Tanpa pikir panjang ditariknya tali tersebut. Ternyata di ujung tali itu terikat rantai yang terbuat dari emas. Alangkah senangnya pak Miskin. Cepat-cepat ditariknya rantai itu.
“Oh, ternyata benar, ini adalah hari keberuntunganku. Dengan emas ini aku akan kaya!,” kata pak Miskin dengan gembira.

Dia menarik rantai itu dengan sekuat tenaga dan mengumpulkan rantai tersebut di atas perahunya. Tiba-tiba terdengar kicau seekor burung dari atas pohon: “Cepatlah potong tali itu dan kembalilah pulang!”

Namun karena terlalu gembira, pak Miskin tidak mengindahkan kicauan burung itu. Dia terus menarik rantai emas itu hingga perahunya tidak kuat lagi menahan bebannya. Dan benar saja, beberapa saat kemudian perahu itu miring dan kemudian terbalik bersama pak Miskin yang masih memegang rantai emasnya.

Rantai emas yang berat itu menarik tubuh pak Miskin hingga terseret ke dalam sungai. Pak Miskin berusaha menarik rantai itu. Namun rantai itu malah melilitnya dan menyeretnya semakin dalam.

Pak Miskin yang kehabisan udara, gelagapan di dalam air. Dengan susah payah dia melepaskan diri dan kembali ke permukaan. Dengan nafas tersengal-sengal dilihatnya harta karunnya yang tenggelam ke dalam sungai. Dalam hati dia menyesal atas kebodohannya. Seandainya dia tidak terlalu serakah pasti kini hidupnya sudah berubah. Tapia pa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Dan pak Miskin pun pulang ke rumahnya dengan tangan hampa.

Si Bujang : Asal Mula Burung Punai

Alkisah pada zaman dahulu kala, ada seekor burung Punai besar yang sedang membuat sarangnya.
Setelah selesai sangkarnya itu, maka burung punai itu bertelur, dan kemudian mengeram hingga telurnya menetas.
Namun, tidak disangka- sangka, pada suatu hari datanglah seekor burung raksasa yang bernama tukuk solaai alur biduk, ekaap solaai dangau dungaap. Lantas burung raksasa itu hinggap di sarang burung punai tersebut.
Karena, burung itu terlalu besar, maka rusaklah sangkar burung punai yang tidak seberapa besar itu. Anak punai di dalam sangkarnya yang baru saja ditetas induk semaknya, lantas jatuh ke tanah dan mati. Burung raksasa itupun tidak mendapati anak burung punai yang sudah lebih dahulu terjatuh bersama sangkarnya ke tanah.
Induk semang burung punai tadi sangat bersedih dengan kejadian tersebut. Maka dengan rasa sedih ia membawa bangkai anaknya terbang mencari tempat yang baik dan aman untuk menguburkan bangkai anaknya itu.
Akhirnya, burung punai itu pergi ke rumah Ape, Rempiaaq, Noso dan Nonga untuk meminta sedikit tanah sebagai tempat mengubur anaknya itu.
Namun Noso, Nonga, Ape dan Rempiaaq tidak memberikan tanah yang diminta burung punai tersebut, karena mereka takut tanah milik mereka kotor oleh bangkai anak Punai tersebut. Karena tidak mendapatkan tanah untuk menguburkan anaknya itu, maka burung punai terbang lagi dan tanpa sengaja bertemu dengan perempuan tua yang sudah janda di sebuah rumah kecil yang sudah lapuk dan reot.
Lalu perempuan tua itu bertanya kepada burung punai, “Hai, burung punai. Mau apa kamu ke mari?”
Lantas burung punai itu menjawab, “Aku ke sini ingin meminta sepetak tanah yang kecil saja untuk menguburkan anakku ini.”
Kemudian dijawab perempuan tua itu, katanya, “Saya punya tanah di depan rumah di situ, maka silahkan kamu menguburkan anakmu di depan rumahku itu dan persis di dekat kuburan suami saya.”
Lalu burung punai itu menguburkan anaknya di samping makam suami perempuan janda tua itu.
Setelah penguburan anaknya selesai, maka burung punai yang malang berkata, “Tolong nenek tunggu kuburan anakku itu, nanti setelah 8 hari 8 malam, aku akan datang lagi ke sini.”
Memang benar, setelah 8 hari 8 malam, maka burung punai itu datang lagi untuk menengok kuburan anaknya. Kemudian terbang lagi dan genap 8 hari 8 malam yang kedua kalinya, maka ia datang lagi dan melihat bahwa kuburan anaknya itu bersih sekali, karena selalu dibersihkan oleh si janda tua.
Sebelum burung punai itu terbang lagi, maka ia berkata kepada nenek janda tua itu, “Aku akan datang untuk yang terakhir kalinya setelah 8 hari 8 malam.”
Sampai pada waktu yang dijanjikannya itu, maka datanglah burung punai itu untuk menengok kuburan anaknya, dan berkata kepada perempuan tua itu, katanya, “Segala yang terjadi dan yang ada pada kuburan anakku itu nanti, nenek ambil semuanya dan sekarang aku pergi untuk tidak kembali lagi.” Selesai berkata demikian, ia terbang meninggalkan perempuan tua di samping kuburan anaknya itu.
Pada malam harinya, maka hujan turun dengan derasnya secara terus menerus hingga menjelang dini hari.
Pada pagi harinya perempuan tua itu turun ke tanah, dan melihat kuburan anak punai. Sesampainya di kuburan anak punai itu, maka dilihatnya sesuatu yang sedang tumbuh, yaitu “teregaaq suliiq sie” dan “terogo tokooq walo,” yang makin hari bertambah besar dan tinggi pula pohon tumbuhan tersebut.
Setelah 8 hari 8 malam lamanya kemudian, maka daun pohon tumbuhan tersebut terbuka lebar sekali dan berwarna-warni dengan indahnya, kemudian berbuah yang beraneka macam.
Ternyata daun pohon kayu tersebut kini berubah menjadi kain batik yang bermacam ragam warnanya. Dan buahnya menjadi antang, mekau, jie, pingaatn dan lainnya yang juga bermacam ragam bentuknya dan ukuranya. Ada yang berukuran besar dan ada pula yang berukuran kecil. Juga buah kayu tersebut menjadi gong. Ada yang besar dan ada pula yang kecil.
Sampai waktu 8 hari 8 malam selanjutnya lagi, maka jatuhlah buah pohon itu ke tanah, maka ada yang menjadi teko, ceret, cangkir, gelas, piring, bascom, sendok dan lain-lain. Setelah itu, robohlah pohon kayu itu dan berubah menjadi lamin yang sangat besar.
Segala kekayaan berupa barang-barang tersebut tadi disimpan dengan rapi oleh perempuan tua itu di dalam lamin besar tersebut.
Mulai saat itu perempuan tua itu menjadi kaya raya. Segala kebutuhan hidupnya tersedia. Kini hidupnya tidak lagi kekurangan suatu apa pun.
Dengan penuh rasa bahagia dan bangga, maka perempuan tua itu memukul gong, sehingga terdengarlah bunyinya oleh Noso, Nonga, Ape dan Rempiaaq bersama semua keluarganya dari Tanyuukng Lahuukng. Lantas mereka datang ke rumah perempuan tua itu.
Setelah sampai di rumah perempuan janda tua itu, mereka heran dan bertanya, “Dari mana nenek memperoleh lamin besar dan kekayaan ini?”
Lalu dijawab perempuan tua itu, “Saya memperoleh dari pohon kayu yang tumbuh di atas kuburan anak punai yang dikuburkan di depan rumah saya.”
Melihat demikian, maka Noso, Nonga, Ape dan Rempiaq bersama semua keluarganya sangat menyesal atas penolakan mereka akan permintaan burung punai dulu itu.
Kini mereka melihat dengan matanya sendiri, betapa perempuan tua itu telah menjadi kaya raya berkat kebaikan hatinya. Tak diduga bahwa burung punai yang malang itu pun punyai rencana mulia untuk membantu orang-orang yang berkehendak baik dan murah hati terhadap dirinya yang sedang tertimpa kemalangan.
Sang janda tua yang hidup susah itu kini menjadi kaya raya untuk selama-lamanya. Walau hidup janda seorang diri, namun ia berbahagia selama hayat dikandung badang, selama jantung berdenyut dan darah masih mengalir.

Senin, 15 September 2014

Roro Jonggrang

Dikisahkan, tersebutlah seorang pangeran bernama Raden Bandung Bondowoso, putra raja Pengging bernama Prabu Damar Moyo. Raden Bandung Bondowoso merupakan seorang pangeran yang terkenal kuat dan sakti mandraguna.

Selain Pengging, terdapat kerajaan yang lain yang bernama Keraton Boko. Raja Keraton Boko bernama Prabu Boko dan mentrinya bernam Patih Gupalo, mereka berdua adalah raksasa pemakan mansia. Tetapi Prabu Boko mempunya seorang putri yang sangat cantik jelita bernama Lorojonggrang.

Suatu hari Prabu Boko berhasrat ingin memperluas wilayah kerajaan dengan menyerang kerajaan Pengging. Prabu Boko mengumpulkan pasukannya untuk menyerang Kerajaan Pengging. Pertempuran hebat pun terjadi, pertumpahan darah pun tidak terelakan. Banyak korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Untuk mengurangi rakyatnya yang terbunuh, Prabu Damar Moyo memerintahkan anaknya Raden Bandung Bondowoso untuk berduel langsung dengan Prabu Boko. Berkat kekuatan dan kesaktian dari Raden Bandung Bondowoso, Prabu Boko pun terbunuh. 

Mendengar Prabu Boko terbunuh, Patih Gupala memerintahkan pasukannya untuk mundur dari lari ke istana. Tentu Raden Bandung Bondowoso tidak tinggal diam, dia langsung mengejar Patih Gupala dan pasukan yang tersisa ke Keraton Boko. Patih Gupala yang tiba terlebih dahulu ke istana menemui Roro Jonggrong dan memberitahu bahwa Prabu Boko telah tewas di tangan Raden Bandung Bondowoso. Tak lama kemudian Raden Bandung Bondowoso pun tiba. Ketika dia sedang mencari Patih Gupala di dalam istana, dia bertemu dengan anak Prabu Boko yaitu Roro Jonggrang. Karena kecantikan nya, Raden Bandung Bondowoso langsung jatuh cinta dengannya. Dan meminta untuk menikahinya. Tetapi Roro Jonggrang menolaknya, karena dia tahu bahwa Raden Bandung Bondowoso yang telah membunuh ayahnya.

Untuk menolak lamaran Raden Bandung Bondowoso, Roro Jonggrang memberikan syarat jika Raden Bandung Bondowoso ingin menikahinya. Roro Jonggrang berkata:
“Jika kau ingin menikahi ku, kau harus membuatkan ku sebuah sumur dan seribu candi dalam satu malam.”
 
Permintaan tersebut terdengar mustahil. Tapi Raden Bandung Bondowoso percaya diri dengan kekuatan dan kesaktian yang dia miliki dan langsung menyanggupi permintaan tersebut. Dia pun memulai untuk membuat sebuah sumur yang terkenal dengan nama Jalatunda. Dan membuat 1000 candi dengan mengerahkan bantuan para jin untuk membuatnya.

Kawatir Raden Bandung Bondowoso akan menyelesikannya. Roro Jonggrang meminta dayang-dayang untuk menumbuk padi dan membakar jerami di timur sebagai tanda bahwa pagi sudah datang. Para jin yang membantu Raden Bandung Bondowoso untuk menyelesaikan 1000 candi pun kabur karena takut akan pagi. Pembuatan 1000 candi pun gagal, Raden Bandung Bondowoso hanya bisa menyelesaikan 999 candi.

Raden bandung Bondowoso marah, murka karena sebenarnya pagi belumlah tiba. Dia sangat marah ketika menemukan bahwa Roro Jonggrang lah yang melakukan kecurangan di balik kegagalan. Raden Bandung Bondowoso sangat murka dan merubah Roro Jonggrang menjadi sebuah arca yang terkenal dengan Arca Dewi Durga untuk melengkapi 1000 candi tersebut.


Sangkuriang

Pada jaman dahulu, di Jawa Barat hiduplah seorang putri raja yang bernama Dayang Sumbi. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu di dalam hutan. Setiap berburu, dia selalu ditemani oleh seekor anjing kesayangannya yang bernama Tumang. Tumang sebenarnya adalah titisan dewa, dan juga bapak kandung Sangkuriang, tetapi Sangkuriang tidak tahu hal itu dan ibunya memang sengaja merahasiakannya.

 Pada suatu hari, seperti biasanya Sangkuriang pergi ke hutan untuk berburu. Setelah sesampainya di hutan, Sangkuriang mulai mencari buruan. Dia melihat ada seekor burung yang sedang bertengger di dahan, lalu tanpa berpikir panjang Sangkuriang langsung menembaknya, dan tepat mengenai sasaran. Sangkuriang lalu memerintah Tumang untuk mengejar buruannya tadi, tetapi si Tumang diam saja dan tidak mau mengikuti perintah Sangkuriang. Karena sangat jengkel pada Tumang, maka Sangkuriang lalu mengusir Tumang dan tidak diijinkan pulang ke rumah bersamanya lagi.

Sesampainya di rumah, Sangkuriang menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. Begitu mendengar cerita dari anaknya, Dayang Sumbi sangat marah. Diambilnya sendok nasi, dan dipukulkan ke kepala Sangkuriang. Karena merasa kecewa dengan perlakuan ibunya, maka Sangkuriang memutuskan untuk pergi mengembara, dan meninggalkan rumahnya. 

Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali perbuatannya. Ia berdoa setiap hari, dan meminta agar suatu hari dapat bertemu dengan anaknya kembali. Karena kesungguhan dari doa Dayang Sumbi tersebut, maka Dewa memberinya sebuah hadiah berupa kecantikan abadi dan usia muda selamanya.

Setelah bertahun-tahun lamanya Sangkuriang mengembara, akhirnya ia berniat untuk pulang ke kampung halamannya. Sesampainya di sana, dia sangat terkejut sekali, karena kampung halamannya sudah berubah total. Rasa senang Sangkuriang tersebut bertambah ketika saat di tengah jalan bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik jelita, yang tidak lain adalah Dayang Sumbi. Karena terpesona dengan kecantikan wanita tersebut, maka Sangkuriang langsung melamarnya. Akhirnya lamaran Sangkuriang diterima oleh Dayang Sumbi, dan sepakat akan menikah di waktu dekat. Pada suatu hari, Sangkuriang meminta ijin calon istrinya untuk berburu di hatan. Sebelum berangkat, ia meminta Dayang Sumbi untuk mengencangkan dan merapikan ikat kapalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi, karena pada saat dia merapikan ikat kepala Sangkuriang, Ia melihat ada bekas luka. Bekas luka tersebut mirip dengan bekas luka anaknya. Setelah bertanya kepada Sangkuriang tentang penyebab lukanya itu, Dayang Sumbi bertambah tekejut, karena ternyata benar bahwa calon suaminya tersebut adalah anaknya sendiri.

Dayang Sumbi sangat bingung sekali, karena dia tidak mungkin menikah dengan anaknya sendiri. Setelah Sangkuriang pulang berburu, Dayang Sumbi mencoba berbicara kepada Sangkuriang, supaya Sangkuriang membatalkan rencana pernikahan mereka. Permintaan Dayang Sumbi tersebut tidak disetujui Sangkuriang, dan hanya dianggap angin lalu saja.

Setiap hari Dayang Sumbi berpikir bagaimana cara agar pernikahan mereka tidak pernah terjadi. Setelah berpikir keras, akhirnya Dayang Sumbi menemukan cara terbaik. Dia mengajukan dua buah syarat kepada Sangkuriang. Apabila Sangkuriang dapat memenuhi kedua syarat tersebut, maka Dayang Sumbi mau dijadikan istri, tetapi sebaliknya jika gagal maka pernikahan itu akan dibatalkan. Syarat yang pertama Dayang Sumbi ingin supaya sungai Citarum dibendung. Dan yang kedua adalah, meminta Sangkuriang untuk membuat sampan yang sangat besar untuk menyeberang sungai. Kedua syarat itu harus diselesai sebelum fajar menyingsing.

Sangkuriang menyanggupi kedua permintaan Dayang Sumbi tersebut, dan berjanji akan menyelesaikannya sebelum fajar menyingsing. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Sangkuriang lalu mengerahkan teman-temannya dari bangsa jin untuk membantu menyelesaikan tugasnya tersebut. Diam-diam, Dayang Sumbi mengintip hasil kerja dari Sangkuriang. Betapa terkejutnya dia, karena Sangkuriang hampir menyelesaiklan semua syarat yang diberikan Dayang Sumbi sebelum fajar.

Dayang Sumbi lalu meminta bantuan masyarakat sekitar untuk menggelar kain sutera berwarna merah di sebelah timur kota. Ketika melihat warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira kalau hari sudah menjelang pagi. Sangkuriang langsung menghentikan pekerjaannya dan merasa tidak dapat memenuhi syarat yang telah diajukan oleh Dayang Sumbi.

Dengan rasa jengkel dan kecewa, Sangkuriang lalu menjebol bendungan yang telah dibuatnya sendiri. Karena jebolnya bendungan itu, maka terjadilah banjir dan seluruh kota terendam air. Sangkuriang juga menendang sampan besar yang telah dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh tertelungkup, lalu menjadi sebuah gunung yang bernama Tangkuban Perahu.


Jumat, 12 September 2014

Malin Kundang

Dahulu kala, tersebutlah sebuah keluarga miskin yang terdiri dari seorang ibu dan anaknya yang bernama Malin Kundang. Karena ayahnya telah meninggalkannya, sang ibu pun harus bekerja keras sendiri untuk bisa menghidupi keluarganya.

Malin adalah anak yang pintar tapi sedikit nakal. Ketika dia beranjak dewasa, Malin merasa kasihan pada ibunya yang sedari dulu bekerja keras menghidupinya. Kemudian Malin meminta izin untuk merantau mencari pekerjaan di kota besar.

“Bu, saya ingin pergi ke kota. Saya ingin kerja untuk bisa bantu ibu di sini.” pinta Malin.
“Jangan tinggalkan ibu sendiri, nak. Ibu hanya punya kamu di sini.” kata sang ibu menolak.
“Izinkan saya pergi, bu. Saya kasihan melihat ibu terus bekerja sampai sekarang.” kata Malin.
“Baiklah nak, tapi ingat jangan lupakan ibu dan desa ini ketika kamu sukses di sana” Ujar sang ibu berlinang ari mata.

Keesokan harinya Malin pergi ke kota besar dengan menggunakan sebuah kapal. Setelah beberapa tahun bekerja keras, dia berhasil di kota rantauannya. Malin sekarang menjadi orang kaya yang bahkan mempunyai banyak kapal dagang. Dan Malin pun sudah menikah dengan wanita cantik di sana. Berita tentang Malin yang menjadi orang kaya sampai lah ke ibunya. Sang ibu sangat senang mendengarnya. Dia selalu menunggu di pantai setiap hari, berharap anak si mata wayangnya kembali dan mengangkat drajat ibunya. Tetapi Malin tak pernah datang.

Suatu hari istiri Malin bertanya mengenai ibu Malin dan ingin bertemu dengan nya. Malin pun tidak bisa menolak keinginan istri yang sangat dicintainya itu. Malin menyiapkan perjalanannya tersebut menuju desanya menggunakan sebuah kapal pribadinya yang besar nan cantik. Akhirnya Malin pun datang ke desanya beserta istri dan anak buahnya.

Mendengar kedatangan Malin, sang ibu merasa sangat gembira. Dia bahkan berlari menuju pantai untuk segera melihat anak yang disayanginya pulang.

“Apa itu kamu Malin, anak ku? Ini ibu mu, kamu ingat” Tanya sang Ibu.
"Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirim kabar?" Katanya sambil memeluk Malin Kundang.

Sang istri yang terkejut melihat kenyataan bahwa wanita tua, bau, dekil yang memeluk suaminya, berkata:
"Jadi wanita tua, bau, dekil ini adalah ibu kamu, Malin"

Karena rasa malu, Malin Kundang pun segera melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga jatuh.
“Saya tidak kenal kamu wanita tua miskin” kata Malin. 
"Dasar wanita tua tak tahu diri, Sembarang saja mengaku sebagai ibuku." Lanjut Malin membentak.

Mendengar perkataan anak kandungnya seperti itu, sang ibu merasa sedih dan marah. Ia tidak menduga, anak yang sangat disayanginya berubah menjadi anak durhaka. 
"Oh Tuhan ku yang kuasa, jika dia adalah benar anak ku, Saya mohon berikan azab padanya dan rubah lah dia jadi batu." doa sang ibu murka.

Tidak lama kemudian angin dan petir bergemuruh menghantam dan menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu, Tubuh Malin Kundang kaku dan kemudian menjadi batu yang menyatu dengan karang.

Rabu, 10 September 2014

Berbelalai bukan gajah, bertaring bukan harimau, bertaji bukan ayam.ada yang tau?

Binatang ini tak pernah ada dialam nyata, namun patung dan keberadaanya bisa kita lihat nyata di Kutai kartanegara Kalimantan Timur. Lembuswana adalah hewan dalam mitologi rakyat Kutai yang hidup sejak zaman Kerajaan Kutai. Lembuswana menjadi lambang Kerajaan Kutai hingga Kesultanan Kutai Kartanegara. Hewan ini memiliki semboyan Tapak Leman Ganggayaksa.
Lembuswana dicirikan sebagai berkepala singa, bermahkota (melambangkan keperkasaan seorang raja yang dianggap penguasa dan mahkota adalah tanda kekuasaan raja yang dianggap seperti dewa), berbelalai gajah (melambangkan dewaGanesha sebagai dewa kecerdasan), bersayap garuda, dan bersisik ikan.
Dari sisi mitos dan legenda, maka kondisi geografis alam tempat sebuah komunitas bisa melahirkan berbagai cerita. Wilayah Kalimantan memiliki banyak sungai-sungai raksasa dan sangat panjang, misalnya di Kaltim terdapat sungai yang lebarnya ratusan meter, yakni Sungai Mahakam dengan panjang 920 Km melintasi tiga daerah Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Samarinda, lalu Sungai Kayan mencapai 640 Km di Kabupaten Bulungan.
Khususnya Sungai Mahakam, masyarakat percaya bahwa terdapat seekor ular naga raksasa yang menjaga sungai tersebut. Konon katanya, saking besarnya naga tersebut, disebutkan bahwa kepalanya ada di Kota Tenggarong dan ekornya sampai Kota Samarinda. Sebagai wujud kepercayaan masyarakat tersebut, maka diadakanlah ritual peluncuran Naga Erau di Sungai Mahakam yang disisipkan sebagai salah satu bagian dari rangkaian upacara adat Erau di Kota Tenggarong, Kab Kutai Kartanegara.
Erau adalah upacara adat yang dahulunya dilaksanakan sebagai upacara kerajaan ketika terjadi perpindahan kekuasaan. Namun kini, karena sistem pemerintahan tidak lagi berbentuk kerajaan, maka Erau dilaksanakan sebagai even budaya untuk memperingati HUT Kota Tenggarong, yakni pada tanggal 29 September. Prosesi peluncuran Naga Erau yang terbuat dari kain, bambu serta kayu itu adalah sebagai tanda (simbolis) bahwa akan ditutupnya atau telah selesainya rangkaian pesta budaya Erau. Ritual yang melibatkan tokoh masyarakat dan sultan Kutai itu melambangkan tanda syukur warga setempat yang selama ini telah mendapat limpahan rahmat dari Allah serta permohonan tolak bala agar negeri ini selalu tentram dan damai. Ular Naga Erau tersebut tidak terlepas dari mitologi Kutai tentang sebuah bayi perempuan yang dikawal seekor naga dan dibawa binatang mistis, Lembuswana.
Lembuswana adalah binatang aneh dan tergolong satu-satunya spesies paling langka di dunia namun sudah tentu tidak terdaftar dalam Appendix I Cites karena hanya hidup dalam mitologi Kutai yang sangat dipengaruhi oleh budaya Hindu itu. Lembuswana adalah wahana Batara Guru yang disebut dalam falsafah :”Paksi leman gangga yakso” yang berarti: bahwa seorang seyogyanya memiliki sifat-sifat mulia pengayom rakyat. Penduduk setempat mempercayai bahwa makhluk ini merupakan ‘kendaraan spiritual’ dari raja Mulawarman, yang merupakan raja kutai pada zaman kejayaan Hindu. Lembuswana kemudian dijadikan Lambang Kesultanan Kutai Kartanegara. Di Museum Mulawarman yang berlokasi di Tenggarong Kabupaten Kutai Kartanegara itu terdapat satu koleksi patung Lembuswana yang terbuat dari kuningan. Lembuswana dibuat di Birma pada 1850 dan tiba di Istana Kutai Kartanegara pada 1900.

Menurut legendanya, ada seorang bayi yang dikawal Ular Naga Lembu dan dibawa oleh Lembuswana. Bayi tersebut kemudian dikenal sebagai Putri Junjung Buih dan menjadi Putri Karang Melenu yang menjadi pendamping hidup raja Kutai Kartanegara pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti yang akhirnya melahirkan para sultan di Kota Raja itu.

Jadi meskipun kini secara fisik Ular Naga Lembu dan Lembuswana itu mungkin tidak ada, namun akan tetap hidup dalam jiwa dan semangat warga Kutai dalam membangun derahnya. Lembuswana sudah sudah menjadi mitos sekligus maskot dari Kota Raja, kabupaten terkaya di Indonesia ini ternyata masih menjunjung tinggi legenda tanah leluhurnya.

Selasa, 09 September 2014

Asal Mula Burung Cendrawasih

Burung Cenderawasih dapat Anda temukan di Indonesia timur, pulau-pulau selat Torres, Papua Nugini, dan Australia timur. Jenis burung ini merupakan anggota famili famili Paradisaeidae dari ordo Passeriformes, dikenal karena bulu burung jantan pada banyak jenisnya, terutama bulu yang sangat memanjang dan rumit yang tumbuh dari paruh, sayap atau kepalanya. Ukuran burung cendrawasih mulai dari Cendrawasih Raja pada 50 gram dan 15 cm hingga Cendrawasih Paruh-sabit Hitam pada 110 cm dan Cendrawasih Manukod Jambul-bergulung pada 430 gram. 

Masyarakat di Papua sering memakai bulu cendrawasih dalam pakaian dan adat mereka, dan beberapa abad yang lalu bulu itu penting untuk dibuat topi wanita di Eropa. 

Perburuan burung cendrawasih untuk diambil bulunya untuk perdagangan topi marak di akhir abad 19 dan awal abad 20 (Cribb 1997), namun sekarang burung-burung itu dilindungi dan perburuan hanya dibolehkan untuk kebutuhan perayaan dari suku setempat.

Burung cendrawasih yang paling terkenal adalah anggota genus Paradisaea, termasuk spesies tipenya, cendrawasih kuning besar, Paradisaea apoda.

Jenis Paradisaea adalah burung-burung jantan berkumpul untuk bersaing memperlihatkan keelokannya pada burung betina agar dapat kawin. 

Asal Usul Sejarah Burung Cenderawasih
Di Pegunungan Bumberi, Kabupaten Fak-Fak, Papua Barat, pada zaman dahulu hiduplah seorang perempuan tua bersama anjing betinanya. Suatu hari, si perempuan tua dengan anjing kesayangannya sedang mencari makanan di hutan. Hari itu, mereka harus berjalan cukup jauh karena persediaan makanan di sekitar rumahnya sudah mulai berkurang. Setelah berjalan cukup jauh, mereka pun tiba di suatu tempat yang dipenuhi oleh pohon pandan yang berbuah lebat. Perempuan tua itu pun segera memetik beberapa buah pandan lalu diberikannya kepada anjingnya yang kelaparan. Anjing betina itu langsung melahap buah pandan itu hingga badannya terlihat segar kembali.

Namun, beberapa saat kemudian, tiba-tiba anjing itu merasakan sesuatu yang bergerak-gerak di dalam perutnya. Perut anjing betina itu semakin membesar seperti sedang bunting. Ajaib, hanya dalam waktu yang tidak lama, anjing betina itu melahirkan seekor anak anjing yang mungil. Melihat keajaiban itu, perempuan itu juga bermaksud memakan buah pandan agar mendapatkan keturunan seperti yang dialami oleh anjingnya.

“Oh, ajaib sekali buah pandan itu,” kagum perempuan itu, “Aku ingin mencoba buah itu agar aku bisa melahirkan anak.”
Perempuan itu segera memetik buah pandan lalu memakannya. Begitu ia menelan buah tersebut, perutnya tiba-tiba mengalami hal yang serupa dengan anjingnya. Dengan perut yang semakin lama semakin membesar, ia bergegas pulang. Setiba di rumah, ia pun melahirkan seorang anak laki-laki. Anak itu diberi nama Kweiya.

Sepuluh tahun kemudian, Kweiya tumbuh menjadi dewasa. Kweiya sangat rajin membantu ibunya bekerja dengan membuka hutan untuk dijadikan kebun sayur. Karena hanya menggunakan kapak batu, ia hanya mampu menebang satu batang pohon setiap hari. 

Sementara itu, ibunya hanya bisa membantu membakar daun-daun dari pohon yang telah rebah. Akibatnya, asap tebal pun mengepul dan membumbung tinggi ke udara. Tanpa mereka sadari, ternyata asap tebal tersebut telah menarik perhatian seorang pria tua yang sedang mengail di sebuah sungai.

“Hai, dari mana asal asap tebal itu? Siapa yang sedang membakar hutan?” gumam pria tua itu.
Oleh karena penasaran, pria tua itu segera mencari sumber asap tebal tersebut. Setelah menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam, sampailah ia di tempat asap itu berasal. Di tempat itu ia mendapati seorang pemuda tampan sedang menebang hutan di bawah terik matahari.

“Weing weinggiha pohi (selamat siang), anak muda,” sapa pria tua itu, “Siapa kamu dan mengapa menebang hutan di sini?”

“Nama saya Kweiya,” jawab pemuda itu, “Saya ingin membuat kebun untuk membantu ibu saya.”

Pria tua itu mengerti bahwa Kweiya adalah anak yang berbakti kepada orang tua. Maka, ia pun memberikan kapak besinya kepada Kweiya.

“Kalau begitu, ambillah kapak besi ini,” kata pria tua itu, “Kamu akan lebih cepat menebang pohon.”

“Terima kasih, Pak,” jawab Kweiya.
Kweiya pun dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Dalam waktu singkat, ia mampu merobohkan puluhan pohon yang besar. Setelah itu, ia bergegas pulang untuk menceritakan hasil pekerjaannya kepada ibunya. Ibunya pun amat heran saat mendengar cerita itu.

“Bagaimana kamu bisa secepat itu menebang pohon-pohon itu, Anakku? Alat apa yang kamu gunakan?” tanya ibunya heran.

Kweiya terdiam sejenak. Ia tampaknya ingin merahasiakan pria tua yang telah membantunya itu.

“Aku tidak tahu juga, Bu. Kebetulan tadi tangan saya terlalu ringan mengangkat kapak sehingga dapat menebang pohon dengan cepat,” jawab Kweiya.
Mendengar jawaban itu, ibu Kweiya percaya begitu saja. Sementara itu, Kweiya meminta agar ibunya menyiapkan makanan yang banyak. Rupanya, Kweiya bermaksud mengajak pria tua itu ikut makan bersama sekaligus memperkenalkannya kepada ibunya.

“Bu, besok tolong siapkan makanan yang banyak,” pinta Kweiya.

Keesokan harinya, ibu Kweiya pun memasak makanan yang cukup banyak. Sementara itu, Kweiya ingin membuat kejutan untuk ibunya. Ketika dalam perjalanan pulang ke pondoknya, ia membungkus pria tua itu dengan sejumlah pohon tebu yang lengkap dengan daunnya. 
Setiba di rumahnya, bungkusan tersebut di letakkan di depan pintu. Setelah itu, ia masuk ke dalam rumah dan seolah-olah merasa sangat haus. Ia pun meminta ibunya agar mengambilkan sebatang tebu untuk melepas rasa dahaganya.

“Bu, aku haus sekali. Tolong ambilkan sebatang tebu di depan pintu itu,” pinta Kweiya.
Ibu Kweiya pun menuruti permintaan anaknya. Alangkah terkejut ia begitu ia membuka bungkusan itu. Ia mendapati seorang pria tua sedang berbaring di dalamnya. 
“Kweiya, siapa pria tua itu? Kenapa dia ada di dalam bungkusan itu?” tanya ibunya heran.
Kweiya tersenyum sera menenangkan hati ibunya.

“Maafkan aku, Bu,’ ucap Kweiya, “Aku tidak bermaksud menakuti-nakuti Ibu. Sebenarnya, pria tua itulah yang telah menolongku menebang pohon di hutan. Aku mohon Ibu mau menerimanya sebagai teman hidup!”
Ibu Kweiya terdiam. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia pun menerima permintaan anaknya. Sejak itulah, pria tua itu tinggal bersama mereka. Kweiya dan ibunya pun tidak merasa kesepian lagi.

Selang beberapa tahun kemudian, ibu Kweiya melahirkan dua anak laki-laki dan seorang perempuan dari hasil perkawinannya dengan pria tua itu. Kweiya pun menganggap ketiga adiknya tersebut sebagai adik kandung. Mereka hidup rukun dan saling menyayangi. Namun, hubungan persaudaraan mereka akhirnya menjadi retak karena kedua adik laki-lakinya merasa iri terhadap Kweiya. Mereka iri karena Kweiya selalu mendapat perhatian khusus dari ibu mereka.

Suatu hari, ketika kedua orangtua mereka sedang ke kebun, kedua adiknya mengeroyok Kweiya hingga luka-luka. Meskipun merasa kesal, Kweiya tidak tega membalas perbuatan kedua adiknya. Ia lebih memilih bersembunyi di salah satu sudut pondoknya sambil memintal tali dari kulit binatang sebanyak mungkin. Pintalan benang tersebut nantinya akan dibuat sayap.

Sementara itu, orangtua Kweiya baru saja tiba dari kebun. Ketika mengetahui Kweiya sedang tidak ada di rumah, sang ibu pun bertanya kepada adik-adik Kweiya.

“Ke mana abang kalian pergi?” tanya sang ibu.

“Tidak tahu, Bu,” jawab kedua adik laki-laki Kweiya serentak.

Rupanya, mereka takut menceritakan peristiwa perkelahian mereka yang menyebabkan Kweiya minggat pergi dari rumah. Namun, adik bungsu mereka yang menyaksikan peristiwa tersebut menceritakannya kepada ibu mereka. Betapa sedihnya sang ibu saat mendengar cerita putri bungsunya itu. Ia kemudian berteriak memanggil-manggil Kweiya agar cepat kembali ke rumah. Namun, bukan Kweiya yang datang, melainkan suara burung yang terdengar.

“Eek.. ek… ek… ek..!” begitu suara burung itu.

Suara itu ternyata suara Kweiya yang telah menyisipkan pintalan benang pada ketiaknya lalu melompat ke atas bubungan rumah dan selanjutnya terbang ke atas salah satu dahan pohon di depan rumah mereka. Rupanya, Kweiya telah berubah menjadi seekor burung yang amat indah dan bulunya berwarna-warni. Melihat peristiwa ajaib itu, sang ibu pun menangis tersedu-sedu sambil meminta benang pintalan kepada Kweiya.

“Kweiya, anakku. Apakah masih ada benang pintalan untukku?” tanyanya.

“Bagian Ibu aku sisipkan di dalam payung tikar,” jawab Kweiya.

Sang ibu pun segera mengambil pintalan benang itu lalu menyisipkannya pada ketiaknya. 

Setelah berubah menjadi burung, ia kemudian mengepak-epakkan sayapnya lalu terbang menyusul Kweiya yang bertengger di dahan pohon. Konon, kedua burung yang kini dikenal sebagai burung cenderawasih terlihat bercakap-cakap dengan kicauan mereka.

“Wong… wong… wong… wong…! Ko… ko… kok… ! Wo-wik!” demikian kicauan mereka yang tidak diketahui maksudnya.

Sejak itulah, burung cenderawasih jantan dan betina sering muncul di Fak-Fak, Papua Barat, dengan warna berbeda. Oleh masyarakat Onin, burung cenderawasih jantan yang bulunya cenderung lebih panjang kemudian dalam bahasa Lha disebut Siangga dan Hanggam Tombor untuk burung cenderawasih betina.

Kedua adik laki-laki Kweiaya yang menyaksikan peristiwa ajaib itu hanya bisa pasrah ditinggalkan oleh ibu dan kakak mereka. Mereka akhirnya saling menyalahkan sehingga mereka saling lempar abu tungku. Wajah mereka pun menjadi kelabu hitam, abu-abu, dan ada juga yang menjadi warna merah. Seketika itu pula, mereka pun berubah menjadi burung dan kemudian terbang ke hutan rimba untuk menyusul ibu dan kakak mereka. Itulah sebabnya, hutan rimba di Fak-Fak lebih banyak dipenuhi oleh beragam burung yang kurang menarik dibandingkan dengan burung cenderawasih.

Minggu, 07 September 2014

Asal Mula Putri Duyung

berawal dari sebuah keluarga yang terdiri dari: Ayah, Ibu, kakak, dan adik.
Suatu hari, si adik yang masih kecil menangis karena kelaparan, Ibunya tidak tega melihatnya, dan dengan terpaksa mengambil ikan yang di simpan ayahnya, Meski tau Ayahnya akan marah besar.
Setelah sang Ayah sampai di rumah dan mengetahui hal tersebut, langsung saja apa yang di perkirakan Ibunya terjadi, sang Ayah marah besar, Ibu mereka di suruh menggantikan ikan tersebut, dan dengan perasaan yang sedih karena harus meninggalkan kedua anaknya, ibu mereka turun ke laut mencari ikan untuk menggantikan ikan ayahnya.
Berhari-hari Ibunya di laut belum juga mendapatkan seekor ikan pun, karena pada saat itu ikan sangat jarang dan langka di temukan, dan semakin lama ia di laut, tubuhnya sedikit demi sedikit bersisik, sesekali si kakak membawa adikya ke pinggir laut dan memanggil ibunya untuk menyusui adiknya, hari-hari berlangsung seperti itu, dan sisik ibunya semakin bertambah, yang semula hanya kaki, naik sampai ke betis dan sisiknya sampai kepinggang, dan ketika sisik Ibu mereka sudah sampai kepinggang, otomatis ibunya tidak tinggal di perahu atau di darat lagi melainkan di dalam laut, dan jika mereka ingin bertemu ibu mereka ada suatu nyanyian pertanda untuk memanggil sang Ibu yang berada di dalam laut, mereka bernyanyi “o ibu wandiu-ndiu mai pa susu andiku, andiku lambata-mbata kakaku lanturung koleo” dan ibu mereka mendengar dan naik ke darat untuk menemui kedua anaknya.
Ayah mereka yang mengetahui hal tersebut, sangat menyesal dengan apa yang pernah ia perbuat, untuk membayar kesalahannya ia juga turun ke laut untuk menjadi duyung, dan jadilah duyung ayah mereka, tinggal mereka berdua.
Adiknya yang juga menginginkan jadi duyung turun ke laut, tapi sekuat keinginannya menjadi duyung tidak terpenuhi. Dan adiknya pun pulang kerumah bersama kakaknya, meskipun kedua orang tuanya berada di dalam laut mereka masih bisa bertemu. Dan orang tua mereka menceritakan bahwa di bawah laut sana ada kehidupan seperti di daratan, ada rumah, pasar, mesjid dan lainnya, tetapi larangan buat kedua orang tua mereka untuk memakan ikan, dan orang tua mereka juga memberikan mereka ikan, tetapi harus di rahasiakan oleh siapapun dan jika mereka di Tanya apakah kamu memakan ikan, mereka harus menjawab tidak, melainkan sayur saja yang mereka makan.