Rabu, 01 Oktober 2014

Asal Usul Kota Surabaya

Dahulu, di lautan luas sering terjadi perkalihan antara ikan hiu Sura dengan Buaya. Mereka berkelahi hanya karena berebut mangsa. Keduanya sama-sama kuat, sama –sama tangkas, sama-sama cerdik, sama-sama ganas, dan sama-sama rakus. Sudah berkai-kali mereka berkelahi belum pernah ada yang menang atau pun yang kalah. Akhirnya mereka mengadakan kesepakatan.
      “Aku bosan terus-menerus berkelahi, Buaya.” kata ikan Sura.
      “Aku juga, Sura. Apa yang harus kita lakukan agar kita tidak lagi berkelahi ?” Tanya Buaya.
                Ikan Hiu Sura yang sudah memiliki rencana untuk menghentikan perkelahiannya dengan Buaya segera menerangkan.
                “Untuk mencegah perkelahian di antara kita, sebaiknya kita membagi daerah kekuasaan menjadi dua. Aku berkuasa sepenuhnya di dalam air dan harus mencari mangsa di dalam air, sedangkan kamu berkuasa di daratan dan mangsamu harus yang berada di daratan. Sebagai batas antara daratan dan air, kita tentukan batas nya, yaitu tempat yang dicapai oleh air laut pada waktu pasang surut ! “.
                “Baik aku setujui gagasanmu itu !” kata Buaya.
                Dengan adanya pembagian wilayah kekuasaan, maka tidak ada perkelahian lagi antara Sura dan Buaya. Keduanya telah sepakat untuk menghormati wilayah masing-masing.
                Tetapi pada suatu hari, ikan Hiu Sura mencari mangsa di sungai. Hal ini dilakukan dengan sembunyi-sembunyi agar Buaya tidak mengetahui. Mula-mula hal ini memang tidak ketahuan. Tetapi pada suatu hari Buaya memergoki perbuatan Ikan Hiu Sura ini. Tentu saja Buaya sangat marah melihat Ikan Hiu Sura melanggar janjinya.
                “ Hai Sura, mengapa kamu melanggar peraturan yang telah kita sepakati berdua ? mengapa kamu berani memasuki sungai yang merupakan wilayah kekuasaanku ?” Tanya Buaya. Ikan Hiu Sura yang tak merasa bersalah tenang-tenang saja.
                “ Aku melanggar kesepakatan ? Bukankah sungai ini berair. Bukankah aku sudah bilang bahwa aku adalah penguasa di air ? Nah sungai ini kan ada air nya, jadi juga termasuk daerah kekuasaanku !” Buaya ngotot.
                “ Tidak bisa, Aku kan tidak pernah bilang kalau di air hanya air laut, tetapi juga air sungai,” jawab Ikan Hiu Sura.
                “ Kau sengaja mencari gara-gara, Sura ?”
                “Tidak! Kukira alasanku cukup kuat dan aku memang di pihak yang benar!” kata Sura.
                “Kau sengaja mengakaliku. Aku tidak sebodoh yang kau kira!” kata Buaya mulai marah.
                “ Aku tak peduli kau bodoh atau pintar, yang penting air sungai dan air laut adalah kekuasaanku!” Sura tetap tak mau kalah.
                “Kalau begitu kamu memang bermaksud membohongiku ? Dengan demikian perjanjian kita batal ! Siapa yang memiliki kekuatan yang paling hebat, dialah yang akan menjadi penguasa tunggal !” kata Buaya.
                “Berkelahi lagi, siapa takuuut!” tantang Sura dengan pongahnya.
                Pertarungan sengit antara Ikan Hiu Sura dan Buaya terjadi lagi. Pertarungan kali ini semakin seru dan dahsyat. Saling menerjang dan menerkam, saling menggigit dan memukul. Dalam waktu sekejap, air di sekitarnya menjadi merah oleh darah yang keluar dari luka-luka kedua binatang itu. Mereka terus bertarung mati-matian tanpa istirahat sama sekali.
                Dalam pertarungan dahsyat ini, Buaya mendapat gigitan Ikan Hiu Sura di pangkal ekornya sebelah kanan. Selanjutnya, ekornya itu terpaksa selalu membelok ke kiri. Sementara Ikan Sura juga tergigit ekornya hingga hampir putus lalu ikan Sura kembali ke lautan. Buaya puas telah dapat mempertahankan daerahnya.
                Pertarungan antara Ikan Hiu yang bernama Sura dengan Buaya ini sangat berkesan di hati masyarakat Surabaya. Oleh karena itu, nama Surabaya selalu di kait-kaitkan dengan peristiwa ini. Dari peristiwa inilah kemudian dibuat lambang kota Madya Surabaya yaitu gambar Ikan Sura dan Buaya.
                Namun ada juga yang berpendapat Surabaya berasal dari kata Sura dan Baya. Sura berarti Jaya atau selamat Baya berarti bahaya, jadi Surabaya berarti selamat menghadapi bahaya. Bahaya yang dimaksud adalah serangan tentara Tar-Tar yang hendak menghukum Raja Jawa. Seharusnya yang di hukum adalah Kartanegara, karena Kartanegara sudah tewas terbunuh, maka Jayakatwang yang di serbu oleh tentara Tar-Tar merampas harta benda dan puluhan gadis-gadis cantik untuk dibawa ke Tiongkok. Raden Wijaya tidak terima diperlakukan seperti ini. Dengan siasat yang jitu, Raden Wijaya menyerang tentara Tar-Tar di pelabuhan Ujung Galuh hingga mereka menyingkir kembali ke Tiongkok.
                Surabaya sepertinya sudah ditakdirkan untuk terus bergolak. Tanggal 10 Nopember 1945 adalah bukti jati diri warga Surabaya yaitu berani menghadapi bahaya serangan Inggris dan Belanda.
                Di jaman sekarang, pertarungan memperebutkan wilayah air dan darat terus berlanjut. Di kala musim penghujan tiba kadangkala banjir menguasai kota Surabaya. Di musim kemarau kadang kala tempat-tempat genangan air menjadi daratan kering. Itulah Surabaya.


Asal Muasal Kota Minangkabau

Suatu siang di sebuah kawasan di Ranah Minang, puluhan warga memadati arena pertandingan. Di tengah lapangan, dua ekor kerbau kekar saling berhadapan. Mereka akan diadu untuk ditetapkan sebagai sang juara.

Itulah sepintas adu kerbau yang menjadi budaya turun-temurun masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat. Budaya warisan leluhur yang telah berlangsung ratusan tahun itu sampai kini masih dijaga dengan baik oleh masyarakat Minang.

Minangkabau, suku besar di wilayah Sumatera Barat ini kaya akan warisan sejarah dan budaya. MinangKabau diambil dari kata Minang, yang berarti kemenangan, dan Kabau, yang berarti kerbau. Dengan kata lain MinangKabau berarti “Kerbau yang Menang”.

Penamaan ini berhubungan erat dengan sejarah terbentuknya MinangKabau yang diawali kemenangan dalam suatu pertandingan adu kerbau untuk mengakhiri peperangan melawan kerajaan besar dari Pulau Jawa.

Suku MinangKabau memang mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan hewan ternak berkaki empat yang disebut kerbau. Itu antara lain terlihat pada berbagai identitas budaya Minang, seperti atap rumah tradisional mereka (Rumah Bogonjong). Rumah adat yang kerap disebut juga Rumah Gadang itu berbentuk seperti tanduk kerbau. Begitu pula pada pakaian wanitanya (Baju Tanduak Kabau).

Sudah beratus-ratus tahun lamanya kerbau menjadi salah satu hewan terfavorit di Provinsi Sumbar. Badan kerbau yang besar dan kekar dianggap mampu membantu berbagai macam pekerjaan manusia. Salah satu pekerjaan kuno yang dikerjakan dengan bantuan tenaga kerbau adalah menggiling tebu.

Dengan alat sederhana, sang kerbau diikat di sebilah bambu yang terhubung pada alat pemeras tebu tradisional. Selama delapan jam bekerja, sang kerbau terus-menerus berputar mengelilingi alat pemeras. Uniknya, agar sang kerbau tidak pusing kepala, mata hewan itu ditutup dengan dua buah batok kelapa yang dilapisi kain.

Air tebu hasil perasan sang kerbau itulah yang kemudian menjadi cikal bakal pembuatan gula merah tradisional. Masyarakat Minang percaya, gula merah hasil kerja keras sang kerbau lebih gurih ketimbang dari alat modern.

Dari sisi sejarah, hewan kerbau bagi suku besar di SumBar ini, telah mengantarkan kejayaan mereka di masa silam. Konon, dahulu kala karena bantuan kerbau-lah masyarakat di SumBar menang perang melawan suku Jawa. Akhirnya sampai sekarang, mereka menamakan dirinya sebagai suku MinangKabau.

“Jadi perang tak berakhir juga, kami usulkan untuk adu kerbau saja. Oleh pihak penyerang dicarilah kerbau yang terbesar di daerahnya, dan ditempatkan di tengah ladang. Orang sini hanya anak kerbau yang sedang menyusu, yang disisipkan mata pisau di mulutnya. Karena anak kerbau yang sudah dua hari tak minum susu, dia lari mengejar kerbau besar yang dikiranya susu ibunya. Jadi, perut kerbau besar itu robek dan dia lari sampai mati,” kisah Datuk Bandaro Panjang, pemuka adat.

Kisah sang kerbau ternyata tak hanya menjadi legenda semata. Hingga kini, pasar ternak di Sumbar pun lebih banyak menjual kerbau ketimbang sapi. Sistem penjualan ternak orang Minang pun cukup unik.

Berbeda dengan pasar sayur tradisional di pasar ternak ini tidak akan terdengar sepatah kata pun antara sang penjual dan pembeli. Transaksi yang berlaku hanya menggunakan isyarat tangan, jari-jari tangan dipakai sebagai alat perhitungan harga jual ternak yang akan dibeli.

Badan padat, kaki kekar dan mata tajam. Itulah ciri khas Si Borgol, kerbau kesayangan Kati Sutan, petani Ranah Minang. Bagi Kati Sutan, memiliki kerbau seperti Borgol ibarat memiliki harta yang sangat berharga dan juga kehormatan.

Borgol bukanlah sembarang kerbau, ia seekor kerbau aduan yang sudah menang lima kali pertandingan. Karena kehebatan itulah, hewan tersebut kemudian mendapat gelar borgol yang berarti kuat mengunci lawan.

Tak hanya untuk hobi semata, kesenangan Kati Sutan mengikuti adu kerbau juga untuk meneruskan tradisi budaya Minangkabau. Ketangguhan Si Borgol yang sudah lima kali memenangkan pertandingan itu, membuat Kati Sutan terkenal di kampungnya.

Setelah berumur dua tahun, kerbau yang memiliki potensi sebagai aduan biasanya mulai dilatih oleh pemiliknya. Kali ini, Borgol pun akan dilatih untuk mempersiapkan kekuatan fisiknya menjelang pertandingan. Calon lawan tanding latihan harus sesuai berat tubuh Si Borgol. Sebab jika tidak imbang, latihan tarung itu akan percuma.

Latihan tarung kerbau paling lama dilakukan selama satu jam. Setelah yakin akan kekuatan Borgol, latihan tarung dihentikan. Kati Sutan sangat yakin kerbaunya akan menang kembali. Dalam adu kerbau tak hanya kekuatan kerbau yang menjadi andalan. Pemilik kerbau juga harus meminta jampi-jampi kepada dukun kerbau agar menang dalam pertandingan.

Seusai latihan tarung, Kati Sutan pun meminta seorang dukun kerbau untuk menjampi-jampi Si Borgol. Seperti pertandingan sebelumnya, Kati Sutan meminta bantuan Sutan Marajo, dukun adu kerbau yang terkenal di kampungnya. Sang dukun membawa sejumlah bahan-bahan alam untuk membuat jamu andalan bagi Si Borgol.

Bahan-bahan alam yang terdiri dari jahe, temulawak, lada dan daun-daunan alam lainnya mulai diracik. Di atas api besar, jamu-jamuan itu disangrai hingga gosong. Sementara keluarga Kati Sutan pun ikut membantu. Bahan lain untuk campuran jamu, seperti telur bebek, air jeruk nipis, minuman suplemen dan satu botol bir hitam turut disiapkan.

Setelah semua bahan siap, Sutan Marajo pun mulai membacakan mantera dan membakar kemenyan. Ia berdoa agar kerbau yang dijampinya dapat memenangkan pertandingan. Jampi-jampi pun dicampur ramuan.

Setelah itu, ramuan kemudian ditempatkan di selembar daun yang keesokan harinya akan diberikan kepada Si Borgol. Keluarga Kati Sutan pun lantas mempersiapkan Borgol sang jagoan untuk diadu keesokan harinya.

Hari pertandingan pun tiba. Kati Sutan mulai bersiap-siap. Namun, sebelum berangkat ke arena pertandingan, masih ada sejumlah ritual yang harus dilakukan sang dukun, yakni meruncingkan tanduk milik Si Borgol.

Tanduk merupakan salah satu bagian tubuh kerbau yang paling mudah untuk melukai lawan. Karenanya, harus dibuat setajam mungkin. Dengan sebilah pisau Sutan Marajo menajamkan tanduk Si Borgol. Kini tanduk sang kerbau telah tajam laksana pedang.

Ritual pun dilanjutkan. Seperti layaknya manusia, Borgol harus mandi dahulu sebelum maju ke arena pertarungan. Sambil membalurkan air ke tubuh Borgol, Sutan Marajo merapalkan jampi-jampi ajiannya agar jagoan Kati Sutan ini kuat melawan musuh.

Sesudah acara mandi selesai, sang dukun memberikan ramuan jampi-jampinya yang dibuat kemarin sore. Tanpa melawan, Borgol pun kemudian memakan ramuan sang dukun dengan lahapnya. Tak lupa tubuh tegap Borgol pun dibaluri lumpur dan jelaga agar terlihat gagah. Kini seluruh persiapan telah usai dilaksanakan. Borgol sang jagoan sudah tak sabar bertemu lawan tandingan.

Siang itu di bawah sinar matahari, Borgol dilepas dari kandangnya. Bak seorang jagoan, dengan gagahnya Borgol berjalan keliling kampung menuju arena pertandingan.

Letak arena pertandingan sekitar tujuh kilometer dari desa Kati Sutan. Namun, ditemani sang dukun Sutan Marajo, Borgol tak gentar berjalan. Bahkan sesekali, kerbau kekar itu mulai berlari seakan tak sabar untuk bertemu sang penantang.

Akhirnya, sampai juga Borgol di lokasi pertandingan. Rupanya sang lawan telah menunggu di pojok arena. Lawan tangguh Borgol tersebut berasal dari desa tetangga. Berbeda dengan Borgol yang sudah ikut lima kali pertandingan, lawannya justru baru kali ini maju ke arena adu kerbau.

Satu per satu penonton mulai berdatangan ke arena. Dengan tarif sebesar Rp3.000,- penonton dapat memilih tempat yang paling nyaman di sekeliling gelanggang.

Awalnya, adu kerbau dilakukan untuk mempertahankan tradisi suku Minangkabau, sayang belakangan acara adu kerbau justru dimanfaatkan para penontonnya untuk bertaruh atau berjudi. Begitu pula dalam pertandingan Borgol, dan Borgol-lah yang dijagokan, hampir seluruh penonton bertaruh Borgol sang jagoan akan memenangkan pertandingan.

Saat yang ditunggu-tunggu pun tiba, dua kerbau aduan dibawa ke tengah lapangan. Dan tanpa menunggu aba-aba lagi, kedua kerbau langsung saling mengejar. Tak disangka, Borgol yang dijagokan justru lari terbirit-birit menghindari lawan.

Adu kerbau kali ini, ternyata tak berjalan lama. Hanya dalam sekejap, Borgol menyerah kalah dan lari tunggang langgang ke luar arena. Para penonton pun pulang dengan penuh kekecewaan. Borgol sang jagoan ternyata tak mampu mempertahankan gelarnya. Rona kecewa juga terpancar di wajah Kati Sutan. Kekalahan Borgol seakan kehilangan kehormatan bagi keluarga Kati Sutan.

Selasa, 23 September 2014

Siapa YangLebih Dulu,Nabi Adam Atau Manusia Purba?

Manakah yang lebih dulu ada, Nabi Adamkah atau manusia purbakah? Mungkin Anda sempat bingung, menurut keyakinan Islam, Adam adalah manusia pertama. Tapi di sisi lain ada fakta penemuan fosil manusia purba yang telah berusia jutaan tahun.

Ada yang menyimpulkan bahwa Adam tetap manusia pertama, Adam adalah nenek moyang manusia purba dan manusia yang ada sekarang, lalu menyimpulkan Adam telah berusia jutaan tahun yang menjadi nenek moyang semua manusia.

Bahkan ada yang terpengaruh teori evolusi, dan menyimpulkan bahwa Adam bukanlah manusia pertama, Adam adalah keturunan dari manusia purba, sedangkan manusia purba adalah berasal dari jenis kera. Na’udzubillah.

Data tambahan berikut ini semoga bisa dijadikan benang merah yang dijadikan pijakan tentang mana yang lebih dulu antara Adam dan manusia purba.

Pertama, menurut penemuan fosil-fosil manusia purba di abad-abad akhir ini disimpulkan bahwa para manusia purba ini hidup JUTAAN tahun lalu. Semoga kesimpulan arkeolog ini benar, sebab kesimpulan usia fosil ini menjadi penentu posisi ‘manusia purba’ ini selanjutnya.

Kedua. Bangsa Arab dikenal sangat hafal silsilah nenek moyangnya, bahkan banyak orang Arab yang bisa hafal silsilahnya hingga Nabi Adam as. Dari data yang tertulis maupun hafalan bangsa Arab akan silsilah mereka ini, disimpulkan bahwa Nabi Adam a.s. hidup sekitar 6.000 (ENAM RIBU) tahun silam. Data ini cukup valid, mengingat kemampuan menghafal silsilah (dan banyak hal) dalam bangsa Arab merupakan suatu yang meyakinkan.

Jadi siapakah manusia yang lebih dulu? Dari dua data di atas maka bisa disimpulkan bahwa manusia purba ada terlebih dahulu dibandingkan dengan Nabi Adam a.s.

Jadi, Adam tetap Manusia Pertama?
Dalam banyak nash Al-Quran disebutkan bahwa Adam adalah manusia pertama, ia diciptakan dari tanah langsung, dan dia tidak berayah dan tidak beribu. Pernyataan inilah yang menjadi dasar Islam tentang konsep “asal usul manusia”. Kemunculan Adam yang tidak berayah dan beribu dan diciptakan langsung dari tanah menegaskan konsep Islam bahwa Adam “tetap” Manusia Pertama, setidaknya Manusia Pertama dari jenisnya. Dari dialah kemudian muncul manusia termasuk kita sekarang. Sehingga kita sering disebut sebagai “bani Adam” atau “keturunan Adam”.

Jika dilihat dari silsilah yang terekam oleh bangsa Arab di atas, dapat disimpulkan bahwa Adam dan keturunannya yang ada sekarang telah ada di muka bumi sejak 6.000-an tahun lalu. Tetapi usia ini tergolong sangat muda dibanding dengan fosil manusia purba yang diperkirakan telah berusia JUTAAN tahun. Sekalipun muncul fakta ada manusia purba yang telah berusia jutaan tahun mendahului Adam yang baru ribuan tahun, konsep Islam bahwa “Adam adalah manusia pertama” tidaklah berubah. Menurut agama Islam, kedudukan Adam sebagai manusia pertama dari “jenis manusia” yang ada sekarang ini. Bila kemudian ditemukan fakta bahwa sebelumnya ada “manusia purba”, maka manusia purba yang itu tentu “berbeda” dengan manusia dari jenis Adam dan keturunannya.

Keunggulan Manusia Keturunan Adam
Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 30 dijelaskan bahwa Allah mengumumkan kepada para malaikat akan menjadikan khalifah (manusia) di muka bumi. Pengumuman ini disambut kekhawatiran para malaikat bahwa manusia nanti akan membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah sesamanya. Sebagian ulama berpendapat, bahwa kekhawatiran para malaikat ini berkaca dari “manusia pendahulunya” yang pernah mendiami bumi dan mengadakan kerusakan serta menumpahkan darah, sehingga mereka punah. Manusia pendahulu inilah yang saat ini ditemukan fosilnya dan kita namai sebagai manusia purba.

Dalam QS. Al-Baqarah 30 disebutkan: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Menanggapi kekhawatiran para Malaikat itu, Allah menyatakan dalam ayat berikutnya bahwa sosok manusia “yang kali ini” Dia ciptakan akan dibekalinya “ilmu seluruhnya” (ilmu yang sempurna). Penekanan pemberian bekal ilmu inilah yang seolah menjadi inti perbedaan “manusia” yang akan diciptakan ini dibandingkan dengan “makhluk lain” (dibandingkan jin, malaikat dan dibandingkan pendahulunya yaitu manusia purba).

Disebutkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 31. Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"

QS. Al-Baqarah ayat 33. Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"

Dari data-data dan kajian singkat di atas, bisa kita gambarkan kesimpulan sebagai berikut:

Pertama. Ketika Adam dan manusia keturunannya belum diciptakan, di muka bumi ini pernah hidup sejenis manusia yang secara fisik mereka hampir seperti manusia sekarang, mereka memiliki nafsu dan insting untuk hidup tetapi mereka belum diberi “ilmu pengetahuan yang sempurna” oleh Allah, sehingga karenanyalah mereka sering mengadakan kerusakan di muka bumi dan menumpahkan darah di antara sesama mereka. Dan karena itulah mereka punah.

Manusia-manusia inilah yang fosilnya kita temukan sekarang dan kita namai sebagai MANUSIA PURBA. Manusia-manusia jenis ini hampir punah seluruhnya dan tidak tersambung dengan Adam dan keturunannya. Seandainya masih ada keturunan manusia purba, mereka jumlahnya amat sedikit dan hidupnya di pedalaman, dan yang terpenting tingkat kemampuan berfikir dan teknologi mereka tentu sangat rendah, dan hampir-hampir tidak bisa kita lihat sisi "kemanusiaan"nya.

Kedua. Setelah kepunahan manusia purba untuk sekian lamanya, barulah Allah menciptakan jenis manusia baru yang “berbeda”. Manusia jenis ini dibekali nafsu dan insting untuk hidup, namun juga dibekali “ilmu pengetahuan yang sempurna” termasuk diturunkannya agama (QS. Al-Baqarah 31-33). Adam-lah yang menjadi manusia pertama yang diciptakan dari jenis ini. Penciptaan “manusia purba” yang punah itu menjadi pelajaran bagi Adam dan keturunannya, bahwa manusia tanpa “ilmu pengetahuan dan agama” hanya akan menciptakan kerusakan di bumi dan menumpahkan darah sesamanya, dan inilah yang menjadi penyebab punahnya mereka.

Jadi, manusia yang hidup di bumi saat ini merupakan keturunan Adam seluruhnya. Tidak ada satupun yang merupakan keturunan manusia purba. Manusia purba benar-benar sudah punah. Fosil-fosil manusia purba yang ditemukan di Jawa-Indonesia kalaulah benar usianya sudah jutaan tahun, maka bukanlah nenek moyang asli dari penduduk Jawa sekarang ini, begitu juga fosil-fosil di tempat lain bukanlah nenek moyang dari manusia yang ada sekarang.

Asal Mula Kota Dumai

Dulu, Dumai hanyalah sebuah dusun nelayan yang sepi, berada di pesisir Timur Propinsi Riau, Indonesia. Kini, Dumai yang kaya dengan minyak bumi itu, menjelma menjadi kota pelabuhan minyak yang sangat ramai sejak tahun 1999. Kapal-kapal tangki minyak raksasa setiap hari singgah dan merapat di pelabuhan ini. Kilang-kilang minyak yang tumbuh menjamur di sekitar pelabuhan menjadikan Kota Dumai pada malam hari gemerlapan bak permata berkilauan. Kekayaan Kota Dumai yang lain adalah keanekaragaman tradisi. Ada dua tradisi yang sejak lama berkembang di kalangan masyarakat kota Dumai yaitu tradisi tulisan dan lisan. Salah satu tradisi lisan yang sangat populer di daerah ini adalah cerita-cerita rakyat yang dituturkan secara turun-temurun. Sampai saat ini, Kota Dumai masih menyimpan sejumlah cerita rakyat yang digemari dan memiliki fungsi moral yang amat penting bagi kehidupan masyarakat, misalnya sebagai alat pendidikan, pengajaran moral, hiburan, dan sebagainya. Salah satu cerita rakyat yang masih berkembang di Dumai adalah Legenda Putri Tujuh. Cerita legenda ini mengisahkan tentang asal-mula nama Kota Dumai.
Konon, pada zaman dahulu kala, di daerah Dumai berdiri sebuah kerajaan bernama Seri Bunga Tanjung. Kerajaan ini diperintah oleh seorang Ratu yang bernama Cik Sima. Ratu ini memiliki tujuh orang putri yang elok nan rupawan, yang dikenal dengan Putri Tujuh. Dari ketujuh putri tersebut, putri bungsulah yang paling cantik, namanya Mayang Sari. Putri Mayang Sari memiliki keindahan tubuh yang sangat mempesona, kulitnya lembut bagai sutra, wajahnya elok berseri bagaikan bulan purnama, bibirnya merah bagai delima, alisnya bagai semut beriring, rambutnya yang panjang dan ikal terurai bagai mayang. Karena itu, sang Putri juga dikenal dengan sebutan Mayang Mengurai.
Pada suatu hari, ketujuh putri itu sedang mandi di lubuk Sarang Umai. Karena asyik berendam dan bersendau gurau, ketujuh putri itu tidak menyadari ada beberapa pasang mata yang sedang mengamati mereka, yang ternyata adalah Pangeran Empang Kuala dan para pengawalnya yang kebetulan lewat di daerah itu. Mereka mengamati ketujuh putri tersebut dari balik semak-semak. Secara diam-diam, sang Pangeran terpesona melihat kecantikan salah satu putri yang tak lain adalah Putri Mayang Sari. Tanpa disadari, Pangeran Empang Kuala bergumam lirih, “Gadis cantik di lubuk Umai....cantik di Umai. Ya, ya.....d‘umai...d‘umai....” Kata-kata itu terus terucap dalam hati Pangeran Empang Kuala. Rupanya, sang Pangeran jatuh cinta kepada sang Putri. Karena itu, sang Pangeran berniat untuk meminangnya.
Beberapa hari kemudian, sang Pangeran mengirim utusan untuk meminang putri itu yang diketahuinya bernama Mayang Mengurai. Utusan tersebut mengantarkan tepak sirih sebagai pinangan adat kebesaran raja kepada Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Pinangan itu pun disambut oleh Ratu Cik Sima dengan kemuliaan adat yang berlaku di Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Sebagai balasan pinangan Pangeran Empang Kuala, Ratu Cik Sima pun menjunjung tinggi adat kerajaan yaitu mengisi pinang dan gambir pada combol paling besar di antara tujuh buah combol yang ada di dalam tepak itu. Enam buah combol lainnya sengaja tak diisinya, sehingga tetap kosong. Adat ini melambangkan bahwa putri tertualah yang berhak menerima pinangan terlebih dahulu.
Mengetahui pinangan Pangerannya ditolak, utusan tersebut kembali menghadap kepada sang Pangeran. “Ampun Baginda Raja! Hamba tak ada maksud mengecewakan Tuan. Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung belum bersedia menerima pinangan Tuan untuk memperistrikan Putri Mayang Mengurai.” Mendengar laporan itu, sang Raja pun naik pitam karena rasa malu yang amat sangat. Sang Pangeran tak lagi peduli dengan adat yang berlaku di negeri Seri Bunga Tanjung. Amarah yang menguasai hatinya tak bisa dikendalikan lagi. Sang Pangeran pun segera memerintahkan para panglima dan prajuritnya untuk menyerang Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Maka, pertempuran antara kedua kerajaan di pinggiran Selat Malaka itu tak dapat dielakkan lagi.
Di tengah berkecamuknya perang tersebut, Ratu Cik Sima segera melarikan ketujuh putrinya ke dalam hutan dan menyembunyikan mereka di dalam sebuah lubang yang beratapkan tanah dan terlindung oleh pepohonan. Tak lupa pula sang Ratu membekali ketujuh putrinya makanan yang cukup untuk tiga bulan. Setelah itu, sang Ratu kembali ke kerajaan untuk mengadakan perlawanan terhadap pasukan Pangeran Empang Kuala. Sudah 3 bulan berlalu, namun pertempuran antara kedua kerajaan itu tak kunjung usai. Setelah memasuki bulan keempat, pasukan Ratu Cik Sima semakin terdesak dan tak berdaya. Akhirnya, Negeri Seri Bunga Tanjung dihancurkan, rakyatnya banyak yang tewas. Melihat negerinya hancur dan tak berdaya, Ratu Cik Sima segera meminta bantuan jin yang sedang bertapa di bukit Hulu Sungai Umai.
Pada suatu senja, pasukan Pangeran Empang Kuala sedang beristirahat di hilir Umai. Mereka berlindung di bawah pohon-pohon bakau. Namun, menjelang malam terjadi peristiwa yang sangat mengerikan. Secara tiba-tiba mereka tertimpa beribu-ribu buah bakau yang jatuh dan menusuk ke badan para pasukan Pangeran Empang Kuala. Tak sampai separuh malam, pasukan Pangeran Empang Kaula dapat dilumpuhkan. Pada saat pasukan Kerajaan Empang Kuala tak berdaya, datanglah utusan Ratu Cik Sima menghadap Pangeran Empang Kuala.
Melihat kedatangan utusan tersebut, sang Pangeran yang masih terduduk lemas menahan sakit langsung bertanya, “Hai orang Seri Bunga Tanjung, apa maksud kedatanganmu ini?”. Sang Utusan menjawab, “Hamba datang untuk menyampaikan pesan Ratu Cik Sima agar Pangeran berkenan menghentikan peperangan ini. Perbuatan kita ini telah merusakkan bumi sakti rantau bertuah dan menodai pesisir Seri Bunga Tanjung. Siapa yang datang dengan niat buruk, malapetaka akan menimpa, sebaliknya siapa yang datang dengan niat baik ke negeri Seri Bunga Tanjung, akan sejahteralah hidupnya,” kata utusan Ratu Cik Sima menjelaskan. Mendengar penjelasan utusan Ratu Cik Sima, sadarlah Pangeran Empang Kuala, bahwa dirinyalah yang memulai peperangan tersebut. Pangeran langsung memerintahkan pasukannya agar segera pulang ke Negeri Empang Kuala.
Keesokan harinya, Ratu Cik Sima bergegas mendatangi tempat persembunyian ketujuh putrinya di dalam hutan. Alangkah terkejutnya Ratu Cik Sima, karena ketujuh putrinya sudah dalam keadaan tak bernyawa. Mereka mati karena haus dan lapar. Ternyata Ratu Cik Sima lupa, kalau bekal yang disediakan hanya cukup untuk tiga bulan. Sedangkan perang antara Ratu Cik Sima dengan Pangeran Empang Kuala berlangsung sampai empat bulan.
Akhirnya, karena tak kuat menahan kesedihan atas kematian ketujuh putrinya, maka Ratu Cik Sima pun jatuh sakit dan tak lama kemudian meninggal dunia. Sampai kini, pengorbanan Putri Tujuh itu tetap dikenang dalam sebuah lirik:

Umbut mari mayang diumbut
Mari diumbut di rumpun buluh
Jemput mari dayang dijemput
Mari dijemput turun bertujuh
Ketujuhnya berkain serong
Ketujuhnya bersubang gading
Ketujuhnya bersanggul sendeng
Ketujuhnya memakai pending

Sejak peristiwa itu, masyarakat Dumai meyakini bahwa nama kota Dumai diambil dari kata “d‘umai” yang selalu diucapkan Pangeran Empang Kuala ketika melihat kecantikan Putri Mayang Sari atau Mayang Mengurai. Di Dumai juga bisa dijumpai situs bersejarah berupa pesanggarahan Putri Tujuh yang terletak di dalam komplek kilang minyak PT Pertamina Dumai. Selain itu, ada beberapa nama tempat di kota Dumai yang diabadikan untuk mengenang peristiwa itu, di antaranya: kilang minyak milik Pertamina Dumai diberi nama Putri Tujuh; bukit hulu Sungai Umai tempat pertapaan Jin diberi nama Bukit Jin. Kemudian lirik Tujuh Putri sampai sekarang dijadikan nyanyian pengiring Tari Pulai dan Asyik Mayang bagi para tabib saat mengobati orang sakit


Si Miskin Yang Tamak

Alkisah di Riau pada jaman dahulu kala hiduplah sepasang suami istri yang sangat miskin. Mereka hidup serba kekurangan karena penghasilan mereka tidak bisa mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Jangankan untuk membeli lauk pauk, untuk mendapatkan beras pun kadang-kadang harus berhutang pada tetangga. Hidup mereka benar-benar memprihatinkan.

Suatu hari pak Miskin bermimpi. Seorang kakek datang menemuinya dan memberikannya seutas tali.
“Hai Miskin! Besok pergilah merakit dan carilah sebuah mata air di sungai Sepunjung!” kata si kakek yang kemudian menghilang.

Pak Miskin terbangun dengan bingung. “Wahai, mimpi apa aku tadi? Kenapa kakek tadi menyuruhku pergi merakit?” kata pak Miskin dalam hati.

Hari masih pagi, ketika pak Miskin akhirnya memutuskan untuk mengikuti pesan si kakek.
“Tidak ada salahnya mencoba. Siapa tahu aku mendapatkan keberuntungan,” pikir pak Miskin.

Maka pergilah ia dengan menggunakan perahu satu-satunya. Dia terus mendayung di sepanjang sungai sambil mencari mata air yang dimaksud si kakek dalam mimpinya. Tidak berapa lama dilihatnya riakan air di pinggir sungai pertanda bahwa di bawah sungai itu terdapat mata air.
“Hmmm, mungkin ini mata air yang dimaksud,” pikir pak Miskin.

Dia menengok ke kanan dan ke kiri mencari si kakek dalam mimpinya. Namun hingga lelah lehernya, si kakek tidak juga kelihatan.

Ketika dia sudah mulai tidak sabar, tiba-tiba muncullah seutas tali di samping perahunya. Tanpa pikir panjang ditariknya tali tersebut. Ternyata di ujung tali itu terikat rantai yang terbuat dari emas. Alangkah senangnya pak Miskin. Cepat-cepat ditariknya rantai itu.
“Oh, ternyata benar, ini adalah hari keberuntunganku. Dengan emas ini aku akan kaya!,” kata pak Miskin dengan gembira.

Dia menarik rantai itu dengan sekuat tenaga dan mengumpulkan rantai tersebut di atas perahunya. Tiba-tiba terdengar kicau seekor burung dari atas pohon: “Cepatlah potong tali itu dan kembalilah pulang!”

Namun karena terlalu gembira, pak Miskin tidak mengindahkan kicauan burung itu. Dia terus menarik rantai emas itu hingga perahunya tidak kuat lagi menahan bebannya. Dan benar saja, beberapa saat kemudian perahu itu miring dan kemudian terbalik bersama pak Miskin yang masih memegang rantai emasnya.

Rantai emas yang berat itu menarik tubuh pak Miskin hingga terseret ke dalam sungai. Pak Miskin berusaha menarik rantai itu. Namun rantai itu malah melilitnya dan menyeretnya semakin dalam.

Pak Miskin yang kehabisan udara, gelagapan di dalam air. Dengan susah payah dia melepaskan diri dan kembali ke permukaan. Dengan nafas tersengal-sengal dilihatnya harta karunnya yang tenggelam ke dalam sungai. Dalam hati dia menyesal atas kebodohannya. Seandainya dia tidak terlalu serakah pasti kini hidupnya sudah berubah. Tapia pa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Dan pak Miskin pun pulang ke rumahnya dengan tangan hampa.

Si Bujang : Asal Mula Burung Punai

Alkisah pada zaman dahulu kala, ada seekor burung Punai besar yang sedang membuat sarangnya.
Setelah selesai sangkarnya itu, maka burung punai itu bertelur, dan kemudian mengeram hingga telurnya menetas.
Namun, tidak disangka- sangka, pada suatu hari datanglah seekor burung raksasa yang bernama tukuk solaai alur biduk, ekaap solaai dangau dungaap. Lantas burung raksasa itu hinggap di sarang burung punai tersebut.
Karena, burung itu terlalu besar, maka rusaklah sangkar burung punai yang tidak seberapa besar itu. Anak punai di dalam sangkarnya yang baru saja ditetas induk semaknya, lantas jatuh ke tanah dan mati. Burung raksasa itupun tidak mendapati anak burung punai yang sudah lebih dahulu terjatuh bersama sangkarnya ke tanah.
Induk semang burung punai tadi sangat bersedih dengan kejadian tersebut. Maka dengan rasa sedih ia membawa bangkai anaknya terbang mencari tempat yang baik dan aman untuk menguburkan bangkai anaknya itu.
Akhirnya, burung punai itu pergi ke rumah Ape, Rempiaaq, Noso dan Nonga untuk meminta sedikit tanah sebagai tempat mengubur anaknya itu.
Namun Noso, Nonga, Ape dan Rempiaaq tidak memberikan tanah yang diminta burung punai tersebut, karena mereka takut tanah milik mereka kotor oleh bangkai anak Punai tersebut. Karena tidak mendapatkan tanah untuk menguburkan anaknya itu, maka burung punai terbang lagi dan tanpa sengaja bertemu dengan perempuan tua yang sudah janda di sebuah rumah kecil yang sudah lapuk dan reot.
Lalu perempuan tua itu bertanya kepada burung punai, “Hai, burung punai. Mau apa kamu ke mari?”
Lantas burung punai itu menjawab, “Aku ke sini ingin meminta sepetak tanah yang kecil saja untuk menguburkan anakku ini.”
Kemudian dijawab perempuan tua itu, katanya, “Saya punya tanah di depan rumah di situ, maka silahkan kamu menguburkan anakmu di depan rumahku itu dan persis di dekat kuburan suami saya.”
Lalu burung punai itu menguburkan anaknya di samping makam suami perempuan janda tua itu.
Setelah penguburan anaknya selesai, maka burung punai yang malang berkata, “Tolong nenek tunggu kuburan anakku itu, nanti setelah 8 hari 8 malam, aku akan datang lagi ke sini.”
Memang benar, setelah 8 hari 8 malam, maka burung punai itu datang lagi untuk menengok kuburan anaknya. Kemudian terbang lagi dan genap 8 hari 8 malam yang kedua kalinya, maka ia datang lagi dan melihat bahwa kuburan anaknya itu bersih sekali, karena selalu dibersihkan oleh si janda tua.
Sebelum burung punai itu terbang lagi, maka ia berkata kepada nenek janda tua itu, “Aku akan datang untuk yang terakhir kalinya setelah 8 hari 8 malam.”
Sampai pada waktu yang dijanjikannya itu, maka datanglah burung punai itu untuk menengok kuburan anaknya, dan berkata kepada perempuan tua itu, katanya, “Segala yang terjadi dan yang ada pada kuburan anakku itu nanti, nenek ambil semuanya dan sekarang aku pergi untuk tidak kembali lagi.” Selesai berkata demikian, ia terbang meninggalkan perempuan tua di samping kuburan anaknya itu.
Pada malam harinya, maka hujan turun dengan derasnya secara terus menerus hingga menjelang dini hari.
Pada pagi harinya perempuan tua itu turun ke tanah, dan melihat kuburan anak punai. Sesampainya di kuburan anak punai itu, maka dilihatnya sesuatu yang sedang tumbuh, yaitu “teregaaq suliiq sie” dan “terogo tokooq walo,” yang makin hari bertambah besar dan tinggi pula pohon tumbuhan tersebut.
Setelah 8 hari 8 malam lamanya kemudian, maka daun pohon tumbuhan tersebut terbuka lebar sekali dan berwarna-warni dengan indahnya, kemudian berbuah yang beraneka macam.
Ternyata daun pohon kayu tersebut kini berubah menjadi kain batik yang bermacam ragam warnanya. Dan buahnya menjadi antang, mekau, jie, pingaatn dan lainnya yang juga bermacam ragam bentuknya dan ukuranya. Ada yang berukuran besar dan ada pula yang berukuran kecil. Juga buah kayu tersebut menjadi gong. Ada yang besar dan ada pula yang kecil.
Sampai waktu 8 hari 8 malam selanjutnya lagi, maka jatuhlah buah pohon itu ke tanah, maka ada yang menjadi teko, ceret, cangkir, gelas, piring, bascom, sendok dan lain-lain. Setelah itu, robohlah pohon kayu itu dan berubah menjadi lamin yang sangat besar.
Segala kekayaan berupa barang-barang tersebut tadi disimpan dengan rapi oleh perempuan tua itu di dalam lamin besar tersebut.
Mulai saat itu perempuan tua itu menjadi kaya raya. Segala kebutuhan hidupnya tersedia. Kini hidupnya tidak lagi kekurangan suatu apa pun.
Dengan penuh rasa bahagia dan bangga, maka perempuan tua itu memukul gong, sehingga terdengarlah bunyinya oleh Noso, Nonga, Ape dan Rempiaaq bersama semua keluarganya dari Tanyuukng Lahuukng. Lantas mereka datang ke rumah perempuan tua itu.
Setelah sampai di rumah perempuan janda tua itu, mereka heran dan bertanya, “Dari mana nenek memperoleh lamin besar dan kekayaan ini?”
Lalu dijawab perempuan tua itu, “Saya memperoleh dari pohon kayu yang tumbuh di atas kuburan anak punai yang dikuburkan di depan rumah saya.”
Melihat demikian, maka Noso, Nonga, Ape dan Rempiaq bersama semua keluarganya sangat menyesal atas penolakan mereka akan permintaan burung punai dulu itu.
Kini mereka melihat dengan matanya sendiri, betapa perempuan tua itu telah menjadi kaya raya berkat kebaikan hatinya. Tak diduga bahwa burung punai yang malang itu pun punyai rencana mulia untuk membantu orang-orang yang berkehendak baik dan murah hati terhadap dirinya yang sedang tertimpa kemalangan.
Sang janda tua yang hidup susah itu kini menjadi kaya raya untuk selama-lamanya. Walau hidup janda seorang diri, namun ia berbahagia selama hayat dikandung badang, selama jantung berdenyut dan darah masih mengalir.

Senin, 15 September 2014

Roro Jonggrang

Dikisahkan, tersebutlah seorang pangeran bernama Raden Bandung Bondowoso, putra raja Pengging bernama Prabu Damar Moyo. Raden Bandung Bondowoso merupakan seorang pangeran yang terkenal kuat dan sakti mandraguna.

Selain Pengging, terdapat kerajaan yang lain yang bernama Keraton Boko. Raja Keraton Boko bernama Prabu Boko dan mentrinya bernam Patih Gupalo, mereka berdua adalah raksasa pemakan mansia. Tetapi Prabu Boko mempunya seorang putri yang sangat cantik jelita bernama Lorojonggrang.

Suatu hari Prabu Boko berhasrat ingin memperluas wilayah kerajaan dengan menyerang kerajaan Pengging. Prabu Boko mengumpulkan pasukannya untuk menyerang Kerajaan Pengging. Pertempuran hebat pun terjadi, pertumpahan darah pun tidak terelakan. Banyak korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Untuk mengurangi rakyatnya yang terbunuh, Prabu Damar Moyo memerintahkan anaknya Raden Bandung Bondowoso untuk berduel langsung dengan Prabu Boko. Berkat kekuatan dan kesaktian dari Raden Bandung Bondowoso, Prabu Boko pun terbunuh. 

Mendengar Prabu Boko terbunuh, Patih Gupala memerintahkan pasukannya untuk mundur dari lari ke istana. Tentu Raden Bandung Bondowoso tidak tinggal diam, dia langsung mengejar Patih Gupala dan pasukan yang tersisa ke Keraton Boko. Patih Gupala yang tiba terlebih dahulu ke istana menemui Roro Jonggrong dan memberitahu bahwa Prabu Boko telah tewas di tangan Raden Bandung Bondowoso. Tak lama kemudian Raden Bandung Bondowoso pun tiba. Ketika dia sedang mencari Patih Gupala di dalam istana, dia bertemu dengan anak Prabu Boko yaitu Roro Jonggrang. Karena kecantikan nya, Raden Bandung Bondowoso langsung jatuh cinta dengannya. Dan meminta untuk menikahinya. Tetapi Roro Jonggrang menolaknya, karena dia tahu bahwa Raden Bandung Bondowoso yang telah membunuh ayahnya.

Untuk menolak lamaran Raden Bandung Bondowoso, Roro Jonggrang memberikan syarat jika Raden Bandung Bondowoso ingin menikahinya. Roro Jonggrang berkata:
“Jika kau ingin menikahi ku, kau harus membuatkan ku sebuah sumur dan seribu candi dalam satu malam.”
 
Permintaan tersebut terdengar mustahil. Tapi Raden Bandung Bondowoso percaya diri dengan kekuatan dan kesaktian yang dia miliki dan langsung menyanggupi permintaan tersebut. Dia pun memulai untuk membuat sebuah sumur yang terkenal dengan nama Jalatunda. Dan membuat 1000 candi dengan mengerahkan bantuan para jin untuk membuatnya.

Kawatir Raden Bandung Bondowoso akan menyelesikannya. Roro Jonggrang meminta dayang-dayang untuk menumbuk padi dan membakar jerami di timur sebagai tanda bahwa pagi sudah datang. Para jin yang membantu Raden Bandung Bondowoso untuk menyelesaikan 1000 candi pun kabur karena takut akan pagi. Pembuatan 1000 candi pun gagal, Raden Bandung Bondowoso hanya bisa menyelesaikan 999 candi.

Raden bandung Bondowoso marah, murka karena sebenarnya pagi belumlah tiba. Dia sangat marah ketika menemukan bahwa Roro Jonggrang lah yang melakukan kecurangan di balik kegagalan. Raden Bandung Bondowoso sangat murka dan merubah Roro Jonggrang menjadi sebuah arca yang terkenal dengan Arca Dewi Durga untuk melengkapi 1000 candi tersebut.