Kamis, 29 Mei 2014

Asal Usul Candi Borobudur

Sejarah Candi Borobudur terletak di Desa Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Candi ini merupakan candi Buddha terbesar kedua setelah Candi Ankor Wat di Kamboja dan termasuk dalam salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Ada beberapa versi mengenai asal usul nama candi ini. Versi pertama mengatakan bahwa nama Borobudur berasal dari bahasa Sanskerta yaitu “bara” yang berarti “kompleks candi atau biara” dan “beduhur” yang berarti “tinggi/di atas”.

Versi kedua mengatakan bahwa nama Sejarah Candi Borobudur kemungkinan berasal dari kata “sambharabudhara” yang berarti “gunung yang lerengnya berteras-teras”. Versi ketiga yang ditafsirkan oleh Prof. Dr. Poerbotjoroko menerangkan bahwa kata Borobudur berasal dari kata “bhoro” yang berarti “biara” atau “asrama” dan “budur” yang berarti “di atas”.

Pendapat Poerbotjoroko ini dikuatkan oleh Prof. Dr. W.F. Stutterheim yang berpendapat bahwa Bodorbudur berarti “biara di atas sebuah bukit”. Sedangkan, versi lainnya lagi yang dikemukakan oleh Prof. J.G. de Casparis berdasarkan prasati Karang Tengah, menyebutkan bahwa Borobudur berasal dari kata “bhumisambharabudhara” yang berarti “tempat pemujaan bagi arwah nenek moyang”.



Masih berdasarkan prasasti Karang Tengah dan ditambah dengan prasasti Kahuluan, J.G. de Casparis dalam disertasinya tahun 1950 mengatakan bahwa Sejarah Candi Borobudur diperkirakan didirikan oleh Raja Samaratungga dari wangsa Sayilendra sekitar tahun Sangkala rasa sagara kstidhara atau tahun Caka 746 (824 Masehi) dan baru dapat diselesaikan oleh puterinya yang bernama Dyah Ayu Pramodhawardhani pada sekitar tahun 847 Masehi. Pembuatan candi ini menurut prasasti Klurak (784 M) dibantu oleh seorang guru dari Ghandadwipa (Bengalore) bernama Kumaragacya dan seorang pangeran dari Kashmir yang bernama Visvawarma.

Versi Lainnya

Asal Usul Sejarah Borobudur – Candi borobudur merupakan salah satu obyek wisata yang terkenal di Indonesia yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Candi Borobudur didirikan sekitar tahun 800-an Masehi oleh para penganut agama Buddha Wahayana. Dalam sejarah candi borobudur, terdapat berbagai teori yang menjelaskan asal usul nama candi borobudur. Salah satunya menyatakan bahwa nama borobudur kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara yang artinya “gunung” (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras.

Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan “para Buddha” yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata “bara” dan “beduhur”. Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah “tinggi”, atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti “di atas”. Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.

Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Kahulunan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M.

Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çr? Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kam?l?n yang disebut Bh?misambh?ra. Istilah Kam?l?n sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bh?mi Sambh?ra Bhudh?ra dalam bahasa sansekerta yang berarti “Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa”, adalah nama asli Borobudur.

Letak candi ini diatas perbukitan yang terletak di Desa Borobudur, Mungkid, Magelang atau 42 km sebelah laut kota Yogyakarta. Dikelilingi Bukit Manoreh yang membujur dari arah timur ke barat. Sementara di sebelah timur terdapat Gunung Merapi dan Merbau, serta disebelah barat ada Gunumg Sindoro dan Gunung Sumbing.

Dibutuhkan tak kurang dari 2 juta balok batu andesit atau setara dengan 50.000m persegi untuk membangun Candi Borobudur ini. Berat keseluruhan candi mencapai 3,5 juta ton. Seperti umumnya bangunan candi, Bororbudur memiliki 3 bagian bangunan, yaitu kaki, badan dan atas. Bangunan kaki disebut Kamadhatu, yang menceritakan tentang kesadaran yang dipenuhi dengan hawa nafsu dan sifat-sifat kebinatangan. Kemudian Ruphadatu, yang bermakna sebuah tingkatan kesadaran manusia yang masih terikat hawa nafsu, materi dan bentuk. Sedangkan Aruphadatu yang tak lagi terikat hawa nafsu, materi dan bentuk digambarkan dalam bentuk stupa induk yang kosong. Hal ini hanya dapat dicapai dengan keinginan dan kekosongan

Asal Usul Danau Toba


Di Sumatera Utara terdapat danau yang sangat besar dan ditengah-tengah danau tersebut terdapat sebuah pulau. Danau itu bernama Danau Toba sedangkan pulau ditengahnya dinamakan Pulau Samosir. Konon danau tersebut berasal dari kutukan dewa.

Di sebuah desa di wilayah Sumatera, hidup seorang petani. Ia seorang petani yang rajin bekerja walaupun lahan pertaniannya tidak luas. Ia bisa mencukupi kebutuhannya dari hasil kerjanya yang tidak kenal lelah. Sebenarnya usianya sudah cukup untuk menikah, tetapi ia tetap memilih hidup sendirian. Di suatu pagi hari yang cerah, petani itu memancing ikan di sungai. “Mudah-mudahan hari ini aku mendapat ikan yang besar,” gumam petani tersebut dalam hati. Beberapa saat setelah kailnya dilemparkan, kailnya terlihat bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya. Petani itu bersorak kegirangan setelah mendapat seekor ikan cukup besar.

Ia takjub melihat warna sisik ikan yang indah. Sisik ikan itu berwarna kuning emas kemerah-merahan. Kedua matanya bulat dan menonjol memancarkan kilatan yang menakjubkan. “Tunggu, aku jangan dimakan! Aku akan bersedia menemanimu jika kau tidak jadi memakanku.” Petani tersebut terkejut mendengar suara dari ikan itu. Karena keterkejutannya, ikan yang ditangkapnya terjatuh ke tanah. Kemudian tidak berapa lama, ikan itu berubah wujud menjadi seorang gadis yang cantik jelita. “Bermimpikah aku?,” gumam petani.

“Jangan takut pak, aku juga manusia seperti engkau. Aku sangat berhutang budi padamu karena telah menyelamatkanku dari kutukan Dewata,” kata gadis itu. “Namaku Puteri, aku tidak keberatan untuk menjadi istrimu,” kata gadis itu seolah mendesak. Petani itupun mengangguk. Maka jadilah mereka sebagai suami istri. Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak boleh menceritakan bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar maka akan terjadi petaka dahsyat.

Setelah sampai di desanya, gemparlah penduduk desa melihat gadis cantik jelita bersama petani tersebut. “Dia mungkin bidadari yang turun dari langit,” gumam mereka. Petani merasa sangat bahagia dan tenteram. Sebagai suami yang baik, ia terus bekerja untuk mencari nafkah dengan mengolah sawah dan ladangnya dengan tekun dan ulet. Karena ketekunan dan keuletannya, petani itu hidup tanpa kekurangan dalam hidupnya. Banyak orang iri, dan mereka menyebarkan sangkaan buruk yang dapat menjatuhkan keberhasilan usaha petani. “Aku tahu Petani itu pasti memelihara makhluk halus! ” kata seseorang kepada temannya. Hal itu sampai ke telinga Petani dan Puteri. Namun mereka tidak merasa tersinggung, bahkan semakin rajin bekerja.

Setahun kemudian, kebahagiaan Petani dan istri bertambah, karena istri Petani melahirkan seorang bayi laki-laki. Ia diberi nama Putera. Kebahagiaan mereka tidak membuat mereka lupa diri. Putera tumbuh menjadi seorang anak yang sehat dan kuat. Ia menjadi anak manis tetapi agak nakal. Ia mempunyai satu kebiasaan yang membuat heran kedua orang tuanya, yaitu selalu merasa lapar. Makanan yang seharusnya dimakan bertiga dapat dimakannya sendiri.

Lama kelamaan, Putera selalu membuat jengkel ayahnya. Jika disuruh membantu pekerjaan orang tua, ia selalu menolak. Istri Petani selalu mengingatkan Petani agar bersabar atas ulah anak mereka. “Ya, aku akan bersabar, walau bagaimanapun dia itu anak kita!” kata Petani kepada istrinya. “Syukurlah, kanda berpikiran seperti itu. Kanda memang seorang suami dan ayah yang baik,” puji Puteri kepada suaminya.

Memang kata orang, kesabaran itu ada batasnya. Hal ini dialami oleh Petani itu. Pada suatu hari, Putera mendapat tugas mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang bekerja. Tetapi Putera tidak memenuhi tugasnya. Petani menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Ia langsung pulang ke rumah. Di lihatnya Putera sedang bermain bola. Petani menjadi marah sambil menjewer kuping anaknya. “Anak tidak tau diuntung ! Tak tahu diri ! Dasar anak ikan !,” umpat si Petani tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan itu.

Setelah petani mengucapkan kata-katanya, seketika itu juga anak dan istrinya hilang lenyap. Tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras dan semakin deras. Desa Petani dan desa sekitarnya terendam semua. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba. Sedangkan pulau kecil di tengahnya dikenal dengan nama Pulau Samosir.

Asal Mula Nama Kota Balikpapan


Menurut cerita rakyat yang berkembang di Kalimantan Timur, konon di Tanah Pasir sudah berlangsung sistem pemerintahan kerajaan yang teratur. Rakyat hidup berkecukupan. Kekuasaan raja sangat luas. Daerah kekuasaannya sampai ke bagian selatan. Daerah itu berupa sebuah teluk yang sangat indah. Selain indah, daerah teluk itu juga makmur karena mengandung hasil bumi dan hasil laut yang berlimpah-limpah.
Kemakmuran daerah sepanjang teluk itu sangat dirasakan oleh masyarakat yang bermukim di tempat itu. Sebagian dari penduduk itu bermata pencaharian sebagai petani. Sebagian lagi bermata pencaharian sebagai nelayan. Masyarakat yang bermukin di daerah itu hidup dalam suasana damai, tenang, dan makmur. Semua anggota masyarakat hidup rukun. Mereka saling menolong satu sama lain. Pendek kata, masyarakat di sepanjang teluk itu hidup dengan nyaman.
Kenyamanan hidup masyarakat di daerah teluk ini juga didukung oleh sikap bijaksana sultan yang memerintah pada saat itu. Sultan Aji Muhammad, demikianlah nama sultan yang berkuasa saat itu. Nama sang sultan memang melambangkan kebesaran serta kesucian pemiliknya.
Sultan Aji Muhammad mempunyai seorang putri. Namanya Aji Tatin. Sultan Aji Muhammad sangat menyayangi Aji Tatin. Beliau sangat bangga akan putrinya itu. Aji Tatin seorang putri yang berwajah cantik jelita.
Tahun berganti tahun, masa pun segera berlalu. Aji Tatin putri Sultan Aji Muhammad pun tumbuh dewasa. Tiba saatnya Aji Tatin menikah. Maka, ayahandanya, Sultan Aji Muhammad, menikahkan putranya itu dengan seorang bangsawan. Putri Aji Tatin menikah dengan Raja Kutai.
Pesta pernikahan Aji Tatin dan Raja Kutai berlangsung dengan sangat meriah. Semua rakyat Sultan Aji Muhammad ikut menikmatinya. Mereka juga merasakan kebahagiaan seperti yang dirasakan keluarga kerajaan.
Setelah pesta pernikahan usai, Putri Aji Tatin menghadap Sultan Aji Muhammad, ayahandanya.
“Ayahanda, izinkan putrimu mengutarakan satu permintaan kepada Ayah,” demikian kalimat pertama yang diucapkan Aji Tatin saat menghadap ayahnya.
“Permohonan apakah yang Ananda inginkan dari ayahanda?” tanya Sultan Aji Muhammad kepada putrinya itu.
“Ayah, berkenanlah memberikan warisan kepada ananda demi masa depan ananda kelak,” demikian permohonan Aji Tatin kepada ayahnya.
Mula-mula ayahnya terkejut dengan permintaan putrinya itu. Namun, dengan senang hati Sultan Aji Muhammad pun mengabulkan permohonan putrinya itu.
“Anakku, ayah akan memberikan daerah teluk itu untukmu. Kuasailah daerah itu! Buatlah rakyat semakin makmur dan sejahtera. Niscaya, mereka akan selalu mengabdi kepadamu,” demikian pesan Sultan Aji Muhammad kepada anaknya itu.
“Terima kasih, Ayah. Putrimu pasti akan selalu menuruti nasihat Ayah. Saya akan membuat rakyat semakin makmur dan sejahtera.”
Sultan Aji Muhammad lega mendengar kata-kata putrinya itu. Maka, sejak saat itu daerah teluk yang subur, makmur, dan sejahtera itu menjadi wilayah kekuasaan Aji Tatin.
Namun, agaknya pesan Sultan Aji Muhammad tidak diindahkan oleh putrinya itu. Putri Aji tatin pun meminta rakyatnya membayar upeti kepadanya. Mau tidak mau rakyat di sepanjang teluk yang dikuasai Putri Aji Tatin pun memenuhi permintaan pemimpinnya itu.
Pada suatu ketika Putri Aji Tatin meminta rakyatnya memberi upeti kepadanya berupa papan. Rakyat pun menyediakan upeti papan untuk Putri Aji Tatin.
Tibalah saat meminta upeti itu kepada rakyat. Orang-orang kepercayaan Putri Aji Tatin pun mendatangi rakyat di teluk daerah kekuasaan junjungannya itu. Dengan dipimpin oleh Panglima Sendong, mereka menuju teluk itu dengan perahu. Mereka menggunakan tanggar atau galah yang disebut tokong untuk mendayung perahu.
Satu per satu mereka mengumpulkan papan upeti rakyat. Papan-papan itu kemudian dibawa ke pantai dan dinaikkan ke dalam perahu. Setelah semua papan terangkut, perlahan-lahan mereka mendayung perahu meninggalkan teluk itu. Namun, malang tak bisa ditolak, untung tak bisa diraih. Di tengah perjalanan perahu yang memuat papan upeti rakyat itu diterjang angin topan. Tiba-tiba saja angin topan yang dahsyat datang menerjang perahu Aji Tatin. Tak pelak lagi perahu itu pun terbalik dan penumpangnya jatuh ke air. Dengan perlahan-lahan, para penumpang, yaitu Panglima Sendong dan anak buahnya, berusaha membawa perahu yang sarat muatan itu ke pantai.
“Ayo, kita bawa perahu ini ke pantai!” teriak Panglima Sendong mengajak anak buahnya mendorong perahu ke pantai.
“Ya, ayo! Kita dorong bersama-sama!” teriak salah seorang anak buahnya.
Dengan segala tenaga, mereka pun berusaha mendorong perahu itu merapat ke pantai. Akan tetapi, mereka tidak berdaya. Perahu sangat berat. Muatan papan dalam perahu itu semakin menambah berat perahu. Angin topan yang begitu dahsyat dan gelombang ganas pun menggagalkan usaha mereka untuk merapatkan perahu itu.
Dengan tiba-tiab perahu itu pun terhempas ke sebuah pulau karang. Perahu yang sarat muatan berupa papan itu pun karam. Tokong atau galah pendayung juga karam. Panglima Sendong, pemimpin anak buah Putri Aji Tatin, beserta anak buahnya pun meninggal.
Peristiwa karamnya perahu yang membawa papan itu kemudian digunakan untuk menamai kota Balikpapan. Balikpapan maksudnya papan yang terbalik karena diterpa badai atau topan yang maha dahsyat.
Sementara itu pulau karang yang menyebabkan peristiwa terbalinya perahu itu makin besar. Pulau karang itu lama-kelamaan menjadi sebuah pulau yang ditumbuhi pohon-pohonan. Sampai sekarang pulau itu dinamai Pulau Tukung.


Legenda Pesut Mahakam


Alkisah, di sebuah dusun di Rantau Mahakam, Kalimantan Timur, hiduplah sebuah keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu, serta seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Keluarga tersebut senantiasa hidup rukun dan damai dalam sebuah pondok yang sederhana. Sang Ayah seorang kepala rumah tangga yang arif dan bijaksana, sedangkan sang Ibu sangat terampil dan cekatan dalam mengatur usuran rumah tangga. Kebutuhan hidup mereka dapat tercukupi dari hasil menanam berbagai jenis buah-buahan dan sayur-sayuran di kebun.

Pada suatu hari, sang Istri terserang sebuah penyakit aneh. Sudah banyak tabib yang telah mengobatinya, namun penyakitnya tak kunjung sembuh hingga akhirnya ia meninggal dunia. Sejak itu, kehidupan keluarga tersebut menjadi berantakan dan tak terurus lagi. Sang Ayah dan kedua putra dan putrinya terus terlarut dalam kesedihan. Sang Ayah menjadi pemurung dan suka bermalas-malasan, sedangkan kedua anaknya kelihatan bingung, tak tahu apa yang harus mereka lakukan. Melihat kondisi tersebut, para sesepuh dusun berusaha untuk membujuk mereka agar tidak larut dalam kesedihan dan sang Ayah kembali mencari nafkah seperti biasanya.

“Sudahlah, Pak! Hilangkanlah kesedihanmu itu dan kembalilah bekerja seperti biasanya! Lihatlah kedua anakmu itu, mereka semakin kurus karena kurang makan!” ujar seorang sesepuh dusun kepada sang Ayah.

Rupanya, nasehat-nasehat tersebut tidak pernah ia hiraukan. Keadaan tersebut berlangsung hingga satu musim, yaitu sejak musim tanam hingga musim panen. Seperti biasanya, setiap musim panen tiba, penduduk dusun tersebut mengadakan pesta adat yang diisi dengan beraneka macam pertunjukan ketangkasan dan kesenian selama tujuh hari tujuh malam.

Kemeriahan pesta ternyata belum mampu menghibur hati keluarga tersebut, terutama sang Ayah. Tapi, begitu mendengar kabar bahwa dalam pertunjukan seni tersebut ada seorang gadis cantik yang pandai dan gemulai menari, hati sang Ayah langsung tergerak ingin menyaksikan pertunjukan tersebut. Dengan penuh semangat, ia berjalan mendekati tempat pertunjukan di mana gadis itu akan menari. Ia sengaja berdiri paling depan agar dapat menyaksikan tarian serta wajah gadis itu dengan jelas.

Beberapa saat kemudian, pertunjukan pun dimulai. Perlahan-lahan gadis cantik itu memasuki panggung seraya memainkan tariannya. Gerakan tubuhnya yang lemah lembut dan gemulai benar-benar mengundang decak kagum para penonton. Lain halnya dengan sang Ayah, ia hanya sesekali tersenyum. Pandangan matanya senantiasa tertuju kepada wajah cantik gadis itu tanpa bergeming sedikit pun. Suatu saat, tiba-tiba pandangan gadis itu tertuju kepadanya sambil melemparkan senyum manisnya. Pada saat itulah, jantung sang Ayah berdetak kencang. Rupanya, ia jatuh hagi kepada gadis itu, begitu pula sebaliknya.

Usai pertunjukan, para penonton membubarkan diri dan kembali ke rumah masing-masing. Sementara sang Ayah tidak beranjak dari tempatnya berdiri, karena ingin bertemu dengan gadis cantik itu. Tak berapa lama kemudian, gadis itu turun dari panggung dan menghampirinya. Setelah berkenalan, mereka pun mengungkapkan perasaan masing-masing dan bersepakat untuk menikah.

“Abang sudah mempunyai dua orang anak. Apakah Adik bersedia untuk membantu Abang merawat mereka?” pinta sang Ayah kepada gadis penari itu.

“Tentu saja, Bang! Adik berjanji akan menyayangi mereka sama seperti anak kandung Adik sendiri,” jawab gadis itu.

Setelah mendapat restu dari para sesepuh kampung, akhirnya mereka pun menikah. Pernikahan mereka dilangsungkan sepekan setelah pesta adat tersebut. Setelah menikah dengan gadis itu, sang Ayah tidak pernah lagi murung dan bermalas-malasan, dan begitu pula kedua anaknya. Keluarga itu telah menemukan kembali suasana kedamaian yang pernah dulu mereka rasakan. Sang Ayah kembali rajin bekerja di kebun dengan dibantu oleh anak laki-lakinya. Sedangkan istri barunya sibuk menyiapkan makanan di rumah dengan dibantu oleh anak perempuannya.

Namun, baru beberapa bulan saja keharmonisan itu berlangsung, keluarga itu kembali diguncang prahara. Sang Ibu tiri ternyata mengingkari janjinya untuk menyayangi kedua anak tirinya. Sifat dan perilakunya tiba-tiba menjadi benci kepada mereka. Ia sering memberi mereka sisa-sisa nasi. Sang Ayah yang mengetahui perilaku istrinya tersebut tidak dapat berbuat apa-apa karena ia sangat mencintainya. Sejak itu, segala urusan rumah tangga ditangani oleh sang Ibu tiri. Setiap hari ia menyuruh kedua anak tirinya mencari kayu bakar di hutan, bahkan ia sering menyuruh mereka untuk mengerjakan hal-hal di luar kemampuan mereka.

Pada suatu hari, sang Ibu menyuruh kedua anak tirinya untuk mencari kayu bakar di hutan dengan jumlah cukup banyak.

“Hai, pemalas! Carilah kayu bakar ke hutan! Kalian harus mengumpulkan kayu bakar yang jumlahnya tiga kali lipat dari yang kalian peroleh kemarin. Ingat, jika kalian pulang sebelum mengumpulkan kayu sebanyak itu, maka kalian tidak akan mendapat makan hari ini!” ancam sang Ibu Tiri.

“Maaf, Bu! Untuk apa kayu bakar sebanyak itu? Bukankah kayu bakar masih banyak? Kalau kayunya mau habis barulah kami mencarinya lagi,” tawar si anak laki-laki.

“Dasar anak pemalas! Rupanya, kalian sudah mulai berani membantah Ibu ya? Awas nanti saya laporkan kepada ayah kalian, bahwa kalian pemalas!” sang Ibu kembali mengancam kedua anak tirinya.

Tanpa berkata apa-apa, si anak perempuan segera menarik tangan kakaknya. Ia menyadari bahwa ayah mereka telah dipengaruhi oleh sang Ibu Tiri.

“Sudahlah, Bang! Kita turuti saja perintah Ibu! Tidak ada gunanya kita membantah, karena kita tetap akan dipersalahkan,” ujar si anak perempuan dengan suara pelan.

Setelah menyiapkan beberapa perlengkapan, berangkatlah mereka ke hutan untuk mencari kayu bakar. Setibanya di hutan, mereka segera mengumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya tanpa mengenal lelah. Namun, hingga hari menjelang sore, mereka belum mengumpulkan kayu bakar sebanyak yang diminta ibu tiri mereka. Karena takut dimarahi, akhirnya mereka memutuskan untuk menginap di tengah hutan. Mereka tidur di dalam sebuah gubuk reot untuk berlindung dari cuaca dingin. Kedua orang kakak-beradik itu baru dapat memejamkan mata ketika malam telah larut, karena perut mereka dibelit rasa lapar.

Keesokan harinya, kedua anak itu kembali mengumpulkan kayu sebanyak-banyaknya. Namun, ketika hari menjelang siang, kedua anak itu tiba-tiba tergeletak di tanah, karena tidak kuat lagi menahan rasa lapar. Untungnya, ada seorang kakek yang sedang melintas di tempat itu dan segera menolong mereka. Kakek itu mengangkat mereka ke bawah sebuah pohon yang rindang seraya mengipas-ngipas mereka. Beberapa saat kemudian, kedua anak malang itu pun tersadar.

“Kita di mana? Kenapa berada di tempat ini?” tanya sang Kakak kepada adiknya.

“Kakek siapa?” tanyanya lagi ketika melihat seorang tua yang tak dikenalnya sedang duduk di samping mereka.

“Tenang, Cucuku! Kakek yang telah membawa kalian ke tempat ini. Kakek menemukan kalian sedang tergeletak tidak sadarkan diri di tengah hutan ini. Kalian siapa dan apa yang kalian lakukan di tempat ini?” tanya kakek itu.

Kedua anak malang itu pun menceritkan semua peristiwa yang mereka alami hingga mereka jatuh pingsan di tengah hutan. Karena iba setelah mendengar cerita mereka, kakek itu menyuruh mereka pergi ke sebuah tempat di mana terdapat banyak buah-buahan.

Setelah berterima kasih, kedua anak tersebut segera menuju ke arah rimbunan pohon. Betapa senangnya hati mereka ketika tiba di tempat yang dimaksud. Mereka mendapati beraneka jenis pohon yang sedang berbuah. Ada pohon durian, nangka, cempedak, mangga, dan pepaya. Melihat banyak buah-buahan yang telah masak berserakan di bawah pohon itu, kedua anak itu segera memakannya dengan sepuas-puasnya hingga kenyang. Badan mereka pun kembali segar. Setelah itu, mereka kembali mengumpulkan kayu sebanyak-banyaknya dengan penuh semangat. Sebelum senja tiba, mereka telah berhasil mengumpulkan kayu sebanyak yang diminta ibu tiri mereka. Kayu-kayu tersebut mereka angkut sedikit demi sedikit pulang ke rumah. Setelah menyusun kayu-kayu di kolong rumah, mereka segera naik ke rumah ingin melapor kepada sang Ibu tiri. Betapa terkejutnya mereka ketika mendapati seluruh isi rumah telah kosong.

“Adikku! Ayah dan Ibu telah pergi meninggalkan kita! Lihatlah semua harta benda di rumah ini telah mereka bawa serta!” seru si anak laki-laki.

Menyadari hal itu, si anak perempuan menjadi sedih dan menangis dengan sekeras-kerasnya. Ia sedih karena ia tahu bahwa ibu tirinya telah memengaruhi ayah mereka untuk pergi dari rumah. Tak berapa lama kemudian, para tetangganya pun berdatangan untuk mengetahui apa gerangan yang terjadi.

“Hai, kenapa adikmu menangis?” tanya seorang warga.

Si anak laki-laki pun menceritakan semua peristiwa yang mereka alami hingga ayah dan ibu tiri mereka pergi secara diam-diam. Mereka juga memberitahu kepada warga bahwa mereka bersikeras untuk pergi mencari orang tua mereka.

Keesokan harinya, kedua anak malang itu berangkat mencari orang tua mereka. Beberapa tentangga yang iba memberi mereka bekal makanan di perjalanan. Sudah dua hari kedua anak itu berjalan menyusuri hutan dan menyeberangi sungai, namun belum juga menemukan kedua orang tua mereka. Pada hari ketiga, tibalah mereka di tepi Sungai Mahakam. Mereka melihat asap api mengepul di sebuah pondok yang terletak di tepi sungai. Setibanya di sana, mereka mendapati seorang kakek sedang duduk-duduk di depan pondok.

“Maaf, Kek! Boleh kami bertanya kepada Kakek,” sapa si anak laki-laki sambil memberi hormat kepada penghuni gubuk reot itu.

“Apa yang bisa kubantu, cucuku?” tanya kakek itu.

“Maaf, Kek! Kami sedang mencari kedua orang tua kami. Apakah Kakek pernah melihat seorang laki-laki setengah bayah dan seorang perempuan yang masih muda lewat di sini?"

Setelah terdiam sebentar sambil mengingat-ingat, kakek itu pun memberitahukan kepada mereka bahwa beberapa hari yang lalu memang ada sepasang suami-istri yang lewat di tempat itu sambil membawa barang yang banyak. Bahkan, mereka sempat mampir di gubuk sang Kakek untuk meminta air minum, karena kehausan.

Kedua anak itu pun yakin bahwa kedua orang yang diceritakan sang Kakek tesebut adalah orang tua mereka.

“Tidak salah lagi, mereka adalah orang tua kami, Kek!” seru kedua anak itu serentak.

“Apakah Kakek tahu ke mana tujuan mereka?” tanya si anak laki-laki.

“Kalau tidak salah, waktu itu mereka berkata akan menetap di seberang sungai sana,” jelas kakek itu.

Mendengar penjelasan itu, kedua anak itu segera menuju ke seberang sungai dengan menggunakan perahu milik kakek itu. Setibanya di seberang sungai, mereka menemukan sebuah pondok kecil yang masih baru tidak jauh dari sungai. Dari dalam pondok itu, asap api tampak mengepul.

“Aku yakin, Ayah dan Ibu pasti ada di dalam pondok itu!” seru sang Kakak.

“Kakak benar! Lihatlah baju yang di jemur di samping pondok itu. Bukankah itu baju Ayah yang dulu pernah Adik jahit?” kata sang Adik.

Tanpa ragu lagi, kedua anak itu segera menghampiri pondok itu.

“Ayah...! Ibu...! Kami datang!” seru sang Kakak.

Berkali-kali mereka berteriak memanggil, namun tidak mendapat jawaban. Akhirnya mereka memberanikan diri memasuki pondok itu. Alangkah senangnya hati mereka karena ternyata barang-barang yang terdapat di dalam pondok itu adalah milik ayah mereka. Melihat asap masih mengepul di dapur, sang Kakak segera memeriksanya, karena mengira kedua orang tua mereka sedang memasak di dapur. Namun, ketika masuk ke dapur, ia hanya mendapati sebuah panci berisi nasi yang sudah menjadi bubur di atas api. Sepertinya, orang tua mereka terburu-buru saat akan meninggalkan pondok, sehingga lupa mengangkat panci tersebut. Karena kelaparan, sang Kakak langsung melahap nasi bubur yang masih panas tersebut. Tak lama kemudian, adiknya pun menyusul dan ikut melahap nasi bubur tersebut hingga habis.

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba kedua anak itu merasakan sesuatu yang aneh. Suhu badan mereka tiba-tiba meningkat dan rasanya panas sekali bagaikan terbakar api. Dengan panik, kedua anak itu berlari ke sana kemari mencari air untuk menyiram tubuh mereka. Semua air tempayan di pondok itu telah habis mereka gunakan, namun suhu badan justru semakin tinggi. Mereka pun segera berlari menuju ke sungai. Setiap pohon pisang yang mereka temui di pinggir jalan mereka peluk untuk mendinginkan badan mereka. Namun, pohon-pohon pisang tersebut justru menjadi layu. Begitu tiba di tepi sungai, mereka langsung terjun ke dalam air. Tak berapa lama kemudian, kedua anak itu menjelma menjadi dua ekor ikan yang kepalanya menyerupai kepala manusia.

Sementara itu, ayah dan ibu tiri kedua anak itu baru saja pulang dari ladang. Betapa terkejutnya sang Ayah ketika masuk ke dalam pondoknya, ia menemukan sebuah bungkusan dan dua buah mandau milik anaknya. Tanpa berpikir panjang, ia bergegas turun dari pondok untuk mencari kedua anaknya dengan mengikuti jalan menuju sungai. Setibanya di tepi sungai, ia melihat dua ekor ikan yang bergerak ke sana kemari di tengah sungai sambil sekali-sekali muncul di permukaan dan menyemburkan air dari kepalanya. Ketika ia akan memberitahukan hal itu kepada istrinya, ternyata sang Istri telah menghilang secara gaib. Akhirnya, lelaki setengah baya itu pun sadar bahwa istri barunya itu bukanlah manusia biasa. Sang Istri memang tidak pernah menceritakan asal usulnya. Sang Ayah pun sangat menyesal karena telah menelantarkan kedua anaknya, sehingga berubah menjadi ikan.

Mendengar kabar tersebut, penduduk di sekitarnya berbondong-bondong ke tepi Sungai Mahakam untuk menyaksikan kedua ekor ikan yang kepalanya mirip dengan kepala manusia tersebut. Mereka memperkirakan bahwa air semburan kedua makhluk tersebut sangat panas dan dapat mematikan ikan-ikan kecil di sekitarnya.

Cerita Tentang Hantu Hutan Kaltim


Kalimantan Timur yang luas wilayahnya satu setengah kali Pulau Jawa, adalah sebuah kawasan yang berpenduduk sangat sedikit dari daerah pulau pulau lain di Indonesia. Tentu daratan ini memiliki hutan yang sangat luas. Dalam sebuah desa atau dusun ada yang hanya berpenduduk paling banyak dua puluh jiwa.

Walau hutan hutan di Kalimantan Timur telah porak poranda akibat illegal logging dan ’banjir kap’ sejak tahun 70-an yang dilakukan berbagai perusahaan kayu, tetap saja hutan hutan ini tak pernah habis. Kerusakan ekosistim akibat pembabatan memang ada, namun tak banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat pedalaman yang tinggal diberbagai pelosok desa atau dusun.

Pada waktu tahun-tahun 70-an ke bawah, hutan di Kaltim sangat kaya dengan hasil hutan ikutan seperti damar dan rotan. Belum lagi hasil yang terkandung di dalam buminya. Dan setiap hutan sudah tentu ada penunggu atau penghuni yang tak terlihat, dengan sebutan lain kalau bukan orang Gaib atau Bunian, pastilah disebut “Hantu Hutan”. Begitulah kepercayaan masyarakat yang berdiam di daerah pedalaman  yang hingga sampai saat sekarang  masih sering menjadi buah bibir.

Kalau yang disebut orang bunian atau orang gaib hanyalah satu. Tetapi kalau yang disebut hantu, sangatlah banyak dan beragam. Ada Hantu Orang, yang kalau berjalan  dengan rambut terurai ke depan menutupi wajahnya. Ada Hantu Kuyang, yang kerjanya mengincar orang beranak atau mati muda.

Hantu yang satu ini senang mengisap darah orang yang hendak melahirkan atau memakan mayat wanita muda yang meninggal karena melahirkan. Ada Hantu Penanggalanan. Hantu yang satu ini berbentuk kepala tanpa badan dan terbang ke sana ke mari dengan incaran yang sama seperti Hantu Kuyang. Bedanya dia dapat bepergian jauh dengan kepalanya yang bisa terbang.

Ada lagi yang disebut Hantu Bangsi. Hantu ini keberadaannya di dalam hutan dan berbentuk wanita menggendong anak memburu siapapun yang bisa jadi mangsanya. Anak yang digendongnya masih dengan tali pusar yang terjulur dari kemaluan hingga ke pusar si anak yang digendong. Hantu ini memberi tanda pada mangsanya yaitu dengan setumpuk bercak bercak darah di atas tanah sebanyak tujuh tumpuk.

Jadi siapapun yang menemukan bercak darah tersebut jika tak cepat kembali, atau terus berjalan hingga ketumpukan yang ke tujuh, maka jadilah dia korban si hantu. Anak bayi yang digendong dilemparkannya ke arah korban. Anak tersebut langsung melengket dan mengisap darah korban dengan darah yang disalurkan melalui tali pusar kepada ibunya. Korban akan mati kehabisan darah dengan sangat mengerikan karena selain kehabisan darah korban bagai mengering keriput seperti mayat yang dikeringkan. 

Ada  lagi yang disebut Hantu Kesot. Hantu ini tidak berjalan dengan kakinya tetapi dia berjalan dengan pantat yang dikesotkan di atas tanah. Hantu ini kebanyakan menunggu mangsa yang lewat ditempat dia tinggal. Sasarannya bukan hanya manusia tetapi juga binatang seperti rusa dan babi.
Dia baru pindah dari tempatnya ke tempat yang baru jika sudah dapat mangsa. Tetapi jika belum selama itu pula dia berada di sana. Bentuknya seperti Orang Hutan, tetapi dia bisa tak terlihat dan mampu mempengaruhi mangsa agar mendekat kepadanya.
Ini kata cerita, namun ada pula yang mengatakan Hantu Kesot ini adalah Orang Utan yang sudah tua dan tak lagi mampu berjalan sehingga dia hanya menanti mangsa yang melaluinya. Namun jika benar mahluk tersebut adalah orang utan yang telah ketuaan, tentu jika dia mati ada yang pernah menemukan bangkainya. Benar tidaknya hingga sampai sekarang tak ada yang pasti mengetahuinya.   

Masih lagi cerita tentang hantu. Kali ini ada yang disebut Hantu Lungun. (Lungun adalah semacam peti mati suku Dayak pedalaman yang masih menganut agama kepercayaan). Ceritanya jika ada orang yang meninggal, mayatnya dimasukkan ke dalam Lungun tersebut yang kemudian ditaruh bersandar pada sebatang pohon besar, tidak dikebumikan seperti orang yang sudah memeluk agama Islam atau Kristen.

Lungun tersebut tidak selamanya berada di tempat itu. Pada waktunya Lungun tersebut dibawa dan dikuburkan pada suatu lubang di tebing pinggir gunung. Kalau orang lagi bernasib sial, dia bisa berjumpa dengan hantu Lungun ini. Tetapi bukan berarti yang jadi hantu adalah orang mati yang dibuat ke dalam Lungun tersebut.

Hantu yang disebut hantu Lungun ini akan mengejar mangsanya dengan jalan seperti bertumbang lesung. Korban yang dikejar akan ditimpa peti Lungun tersebut hingga tewas. Tentu saja tewas, karena yang menimpa adalah Lungun yang terbuat dari sebatang  kayu yang cukup berat.

Ada lagi cerita lain tentang hantu hutan di Kalimantan Timur. Hantu yang satu ini bukanlah hantu pemangsa manusia. Tetapi hantu yang satu ini adalah hantu nakal yang kerjanya mengganggu dan menyesatkan manusia jika berada di dalam hutan. Menurut cerita orang yang pernah bertemu, hantu tersebut amatlah kecil bagai anak anak yang baru berumur lima tahun, namun wajah mereka tua-tua dan kebanyakan berambut merah.

Namun ada pula yang mengatakan kalau Hantu yang disebut “Belau“ ini bukanlah hantu. Tetapi bisa disebut  manusia kerdil yang sangat liar. Kerjanya bermain di pinggiran sungai sambil mencari ikan sebagai makanan pokoknya. Dalam bahasa pedalaman “Belau“ itu adalah arti dari sebutan kata liar.

Kesukaan hantu Belau ini menyesatkan orang yang berjalan di dalam hutan. Apalagi kalau si orang tersebut memang sesat. Orang tersebut tambah disesatkan ke arah berlawanan dari asal datangnya. Sering Belau ini meniru suara seseorang dengan menyahuti jika orang yang tersesat memanggil-manggil nama temannya yang terpisah.

Makin sering memanggil dan berteriak. Belau pun makin sering menyahut dan meminta agar menyusuri arah suara sehingga orang yang tersesat tambah sesat dan berhari-hari berputar di situ situ saja.

Menurut cerita, kalau di pinggiran sungai yang berpasir banyak terdapat jejak kaki seperti anak-anak, maka dapat dipastikan jejak tersebut adalah jejak kaki Hantu Belau tersebut. Apalagi jeriji telapak kakinya hanya ada empat jari saja.

Nah hal ini hanyalah merupakan petunjuk kalau sekali waktu memasuki hutan. Jika tersesat jangan berteriak supaya tidak disesatkan oleh Hantu nakal yang bernama Belau ini. Namun kalau ingin mencoba, silakan masukilah hutan di pedalaman, siapa tahu dapat pengalaman dan bertemu dengan manusia atau  hantu yang disebut “ Belau “.

Asal Usul Danau Lipan



Di kecamatan Muara Kaman kurang lebih 120 km di hulu Tenggarong ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur ada sebuah daerah yang terkenal dengan nama Danau Lipan. Meskipun bernama Danau, daerah tersebut bukanlah danau seperti Danau Jempang dan Semayang. Daerah itu merupakan padang luas yang ditumbuhi semak dan perdu.

Dahulu kala kota Muara Kaman dan sekitarnya merupakan lautan. Tepi lautnya ketika itu ialah di Berubus, kampung Muara Kaman Ulu yang lebih dikenal dengan nama Benua Lawas. Pada masa itu ada sebuah kerajaan yang bandarnya sangat ramai dikunjungi karena terletak di tepi laut.

Terkenallah pada masa itu di kerajaan tersebut seorang putri yang cantik jelita. Sang putri bernama Putri Aji Bedarah Putih. Ia diberi nama demikian tak lain karena bila sang putri ini makan sirih dan menelan air sepahnya maka tampaklah air sirih yang merah itu mengalir melalui kerongkongannya.

Kejelitaan dan keanehan Putri Aji Bedarah Putih ini terdengar pula oleh seorang Raja Cina yang segera berangkat dengan Jung besar beserta bala tentaranya dan berlabuh di laut depan istana Aji Bedarah Putih. Raja Cina pun segera naik ke darat untuk melamar Putri jelita.

Sebelum Raja Cina menyampaikan pinangannya, oleh Sang Putri terlebih dahulu raja itu dijamu dengan santapan bersama. Tapi malang bagi Raja Cina, ia tidak mengetahui bahwa ia tengah diuji oleh Putri yang tidak saja cantik jelita tetapi juga pandai dan bijaksana. Tengah makan dalam jamuan itu, puteri merasa jijik melihat kejorokan bersantap dari si tamu. Raja Cina itu ternyata makan dengan cara menyesap, tidak mempergunakan tangan melainkan langsung dengan mulut seperti anjing.

Betapa jijiknya Putri Aji Bedarah Putih dan ia pun merasa tersinggung, seolah-olah Raja Cina itu tidak menghormati dirinya disamping jelas tidak dapat menyesuaikan diri. Ketika selesai santap dan lamaran Raja Cina diajukan, serta merta Sang Putri menolak dengan penuh murka sambil berkata, "Betapa hinanya seorang putri berjodoh dengan manusia yang cara makannya saja menyesap seperti anjing."

Penghinaan yang luar biasa itu tentu saja membangkitkan kemarahan luar biasa pula pada Raja Cina itu. Sudah lamarannya ditolak mentah-mentah, hinaan pula yang diterima. Karena sangat malu dan murkanya, tak ada jalan lain selain ditebus dengan segala kekerasaan untuk menundukkan Putri Aji Bedarah Putih. Ia pun segera menuju ke jungnya untuk kembali dengan segenap bala tentara yang kuat guna menghancurkan kerajaan dan menawan Putri.

Perang dahsyat pun terjadilah antara bala tentara Cina yang datang bagai gelombang pasang dari laut melawan bala tentara Aji Bedarah Putih.

Ternyata tentara Aji Bedarah Putih tidak dapat menangkis serbuan bala tentara Cina yang mengamuk dengan garangnya. Putri yang menyaksikan jalannya pertempuran yang tak seimbang itu merasa sedih bercampur geram. Ia telah membayangkan bahwa peperangan itu akan dimenangkan oleh tentara Cina. Karena itu timbullah kemurkaannya.

Putri pun segera makan sirih seraya berucap, "Kalau benar aku ini titisan raja sakti, maka jadilah sepah-sepahku ini lipan-lipan yang dapat memusnahkan Raja Cina beserta seluruh bala tentaranya." Selesai berkata demikian, disemburkannyalah sepah dari mulutnya ke arah peperangan yang tengah berkecamuk itu. Dengan sekejap mata sepah sirih putri tadi berubah menjadi beribu-ribu ekor lipan yang besar-besar, lalu dengan bengisnya menyerang bala tentara Cina yang sedang mengamuk.

Bala tentara Cina yang berperang dengan gagah perkasa itu satu demi satu dibinasakan. Tentara yang mengetahui serangan lipan yang tak terlawan itu, segera lari lintang-pukang ke jungnya. Demikian pula sang Raja. Mereka bermaksud akan segera meninggalkan Muara Kaman dengan lipannya yang dahsyat itu, tetapi ternyata mereka tidak diberi kesempatan oleh lipan-lipan itu untuk meninggalkan Muara Kaman hidup-hidup. Karena lipan-lipan itu telah diucap untuk membinasakan Raja dan bala tentara Cina, maka dengan bergelombang mereka menyerbu terus sampai ke Jung Cina. Raja dan segenap bala tentara Cina tak dapat berkisar ke mana pun lagi dan akhirnya mereka musnah semuanya. Jung mereka ditenggelamkan juga.

Sementara itu Aji Bedarah Putih segera hilang dengan gaib, entah kemana dan bersamaan dengan gaibnya putri, maka gaib pulalah Sumur Air Berani, sebagai kekuatan tenaga sakti kerajaan itu. Tempat Jung Raja Cina yang tenggelam dan lautnya yang kemudian mendangkal menjadi suatu daratan dengan padang luas itulah yang kemudian disebut hingga sekarang dengan nama Danau Lipan.

Asal Usul Nenek Moyang Kutai


Proses perpindahan penduduk dari daratan asia yang kini disebut propensi YunanCina selatan berlangsung antara tahun 3000-1500 sebelum masehi, mereka adalah kelompok yang mengembara hingga sampai di pulau Kalimantan dengan rute perjalanan melewati Hainan, Taiwan, pilipina kemudian menyeberangi laut cina selatan menuju Kalimantan Timur, pada saat itu perpindahan penduduk dari pulau satu ke pulau lain tidaklah begitu sulit kerena pada jaman es permukaan laut sangat turun akibat pembekuan es di kutub Utara dan Selatan, dengan hanya menggunakan perahu kecil bercadik yang diberi sayap dari batang bambu mereka dengan mudah menyeberangi selat karimata dan laut cina selatan menuju Kalimantan Timur.

Para imigran dari daratan cina ini masuk ke Kalimantan Timur dalam waktu yang berbeda, kelompok pertama datang sekitar tahun 3000-1500 sebelum masehi termasuk dalam kelompok ras Negrid dan weddid kelompok ini diperkirakan seudah punah. Kemudian sekitar tahun 500 sebelum masehi berlangsung lagi arus perpindahan penduduk yang lebih besar dan kelompok inilah yang diperkirakan menjadi cikal bakal penduduk Kutai.

Setelah adanya arus perpindahan penduduk dari Yunan terjadilah percampuran penduduk kerena perkawinan,

penduduk Kuatai berasal dari lima suku ( puak ) yang terdapat didaerah kutai pada masa purba yakni:

1.Puak Melanti yang mendiami daerah sekitar Kutai Lama dan Tenggarong
2..Puak Pantun yang tinggal di sekitar Muara Ancalong dan Muara Kaman
3.Puak Punang yang tinggal di sekitar Muara Muntai dan Kota Bangun
4.Puak Pahu yang mendiami daerah sekitar Muara Pahu
5.Puak Tulur Dijangkat yang mendiami daerah sekitar Barong Tongkok dan Melak

Puak Pantun, Punang dan Melanti tumbuh dan berkembang menjadi suku Kutai yang memiliki bahasa sama namun beda dialek. Dengan demikian suku Kutai adalah suku asli daerah ini

Nama Kutai sendiri sudah disebut-sebut sejak abat ke 4 M pada berita-berita India secara tegas menyebutkan Kutai dengan nama “Quetaire” begitu pula dengan berita cina pada abat ke 9 (sembila) menyebut Kutai dengan sebutan “Kho They” yang berarti kerajaan besar. Dan pada abad 13 ( tiga belas ) dalam kesusastraan kuno Kitab Negara Kertagama yang disusun oleh Empu Prapanca ditulis dengan istilah “Tunjung Kute”


Keturunan Puak Tulur Dijangkat tumbuh dan berkembang menjadi suku Dayak. Mereka berpencar meninggalkan tanah aslinya dan membentuk kelompok suku masing-masing yang sekarang dikenal sebagai suku Dayak Tunjung, Bahau, Benuaq, Modang, Penihing, Busang, Bukat, Ohong dan Bentian.
* Suku Tunjung mendiami daerah kecamatan Melak, Barong Tongkok dan Muara Pahu

* Suku Bahau mendiami daerah kecamatan Long Iram dan Long Bagun
* Suku Benuaq mendiami daerah kecamatan Jempang, Muara Lawa, Damai dan Muara Pahu

* Suku Modang mendiami daerah kecamatan Muara Ancalong dan Muara Wahau

* Suku Penihing, suku Bukat dan suku Ohong mendiami daerah kecamatan Long Apari

* Suku Busang mendiami daerah kecamatan Long Pahangai

* Suku Bentian mendiami daerah kecamatan Bentian Besar dan Muara Lawa

Selain suku-suku tersebut, terdapat pula suku-suku lain yaitu suku Dayak Kenyah, Punan, Basap, dan Kayan.

* Suku Kenyah merupakan pendatang dari Apo Kayan, Kab. Bulungan. Kini suku ini mendiami wilayah kecamatan Muara Ancalong, Muara Wahau, Tabang, Long Bagun, Long Pahangai, Long Iram dan Samarinda Ilir.
* Suku Punan merupakan suku Dayak yang mendiami hutan belantara di seluruh Kalimantan Timur mulai dari daerah Bulungan, Berau hingga Kutai. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil di gua-gua batu dan pohon-pohon. Mereka dibina oleh Departemen Sosial melalui Proyek Pemasyarakatan Suku Terasing.

* Suku Basap menurut cerita merupakan keturunan orang-orang Cina yang kawin dengan suku Punan. Mereka mendiami wilayah kecamatan Sangkulirang.

* Suku Kayan berasal dari Kalimantan Tengah, suku ini sering juga disebut dengan suku Biaju. Mereka mendiami daerah kecamatan Long Iram.

Asal Mula Ikan Patin


Alkisah, pada zaman dahulu kala, di Tanah Melayu hiduplah seorang nelayan tua yang bernama Awang Gading. Ia tinggal seorang diri di tepi sebuah sungai yang luas dan jernih. Walaupun hidup seorang diri, Awang Gading selalu merasa bahagia. Ia mensyukuri setiap nikmat yang diberikan Tuhan kepadanya. Pekerajaan sehari-harinya adalah menangkap ikan di sungai dan mencari kayu di hutan.

Suatu sore, sepulang dari hutan, Awang Gading pergi mengail di sungai. “Ah, semoga hari ini aku mendapat ikan besar,” gumam Awang Gading. Usai melemparkan kailnya ke dalam air, ia berdendang sambil menunggu kailnya. Berapa saat kemudian, umpannya pun di makan ikan. Dengan hati-hati disentakkannya kail itu. Apa yang terjadi? Ternyata ikannya terlepas. Lalu dipasangnya lagi umpan pada mata kailnya. Berkali-kali umpannya di makan ikan, namun saat kailnya ditarik, ikannya terlepas lagi.

“Air pasang telan ke insang
Air surut telan ke perut
Renggutlah…!
Biar putus jangan rabut,”

terdengar dendang Awang Gading sambil melempar pancingnya kembali.

Hari sudah mulai gelap. Namun, tak seekor ikan pun yang diperolehnya. “Rupanya, aku belum beruntung hari ini,” gumam Awang Gading. Usai bergumam, Awang Gading pun bergegas pulang. Namun, baru saja melangkah, tiba-tiba ia mendegar tangisan bayi. Dengan perasaan takut, Awang Gading mencari asal suara itu. Tak lama mencari, ia pun menemukan bayi perempuan yang mungil tergolek di atas batu. Tampaknya bayi itu baru saja dilahirkan oleh ibunya. Anak siapa gerangan? Kasihan, ditinggal seorang diri di tepi sungai,” Ucap Awang Gading dalam hati. Oleh karena merasa iba, dibawanya bayi itu pulang ke gubuknya.

Malam itu juga Awang Gading membawa bayi ke rumah tetua kampung. “Awang, berbahagialah, karena kamu dipercaya raja penghuni sungai untuk memelihara anaknya. Rawatlah ia dengan baik,” Tetua Kampung berpesan. “Terima kasih, Tetua! Saya akan merawat bayi ini dengan baik. Semoga kelak menjadi anak yang cerdas dan berbudi pekerti yang baik,” jawab Awang Gading mengharap.

Keesokan harinya, Awang Gading mengadakan selamatan atas hadirnya bayi di tengah kehidupannya. Ia mengundang seluruh tetangganya. Awang Gading memberi nama bayi itu Dayang Kumunah. Usai acara tersebut, Awang Gading menimang-nimang sang bayi sambil mendendang, “Dayang sayang, anakku seorang…Cepatlah besar menjadi gadis dambaan.”

Kehadiran Dayang Kumunah dalam kehidupannya, membuat Awang Gading semakin giat bekerja. Ia sangat sayang dan perhatian terhadap Dayang. Awang Gading juga membekali Dayang Kumunah berbagai ilmu pengetuhan dan pelajaran budi pekerti. Setiap hari ia juga mengajak Dayang pergi mengail atau mencari kayu di hutan untuk mengenal kehidupan alam lebih dekat.

Waktu terus berjalan. Dayang Kumunah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan berbudi pekerti luhur. Ia juga sangat rajin membantu ayahnya. Namun sayang, Dayang Kumunah tidak pernah tertawa.

Suatu hari, seorang pemuda tampan dan kaya lewat di depan rumah Dayang. Pemuda itu bernama Awangku Usop. Saat melihat Dayang Kumunah sedang menjemur pakaian, Awangku Usop langsung jatuh hati kepadanya dan berniat untuk segera meminangnya.

Beberapa hari kemudian, Awangku Usop meminang Dayang Kumunah pada Awang Gading.

“Maaf, Tuan! Nama saya Awangku Usop. Saya dari desa sebelah,” kata Usop memperkenalkan diri.

“Ada apa gerangan, Ananda Awangku Usop?” tanya Awang Gading.

“Saya ke mari hendak meminang putri Tuan” pinang Awangku Usop.

Awang Gading tidak langsung memberikan jawaban. Keputusannya ada pada Dayang Kumunah. Lalu ia meminta pendapat Dayang Kumunah. “Anakku, Dayang! Bagaimana pendapatmu tentang pinangan Awangku Usop?” tanya Awang Gading pada Dayang yang sedang duduk di sampingya. Dayang Kumunah langsung menanggapi pinangan pemuda itu. “Kanda Usop, sebenarnya kita berasal dari dua dunia yang berbeda. Saya berasal dari sungai dan mempunyai kebiasaan yang berlainan dengan manusia. Saya bersedia menjadi istri kanda Usop, tetapi dengan syarat, jangan pernah meminta saya untuk tertawa,” pinta Dayang Kumunah. Awangku Usop menyanggupi syarat itu. “Baiklah! Saya berjanji untuk memenuhi syarat itu,” kata Awangku Usop.

Seminggu kemudian, mereka pun menikah. Pesta pernikahan mereka berlangsung meriah. Semua kerabat dan tetangga kedua mempelai diundang. Para undangan turut gembira menyaksikan kedua pasangan yang serasi tersebut. Dayang Kumunah gadis yang sangat cantik dan Awangku Usop seorang pemuda yang sangat tampan. Mereka pun hidup berbahagia, saling mencintai dan saling menyayangi.

Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Beberapa minggu setelah mereka menikah, Awang Gading meninggal dunia karena sakit. Dayang Kumunah sangat sedih kehilangan ayah yang telah mendidik dan membesarkannya, meskipun bukan ayah kandungnya sendiri. Hingga berbulan-bulan lamanya, hati Dayang Kumunah diselimuti perasaan sedih. Untungnya, kesedihan itu segera terobati dengan kelahiran anak-anaknya yang berjumlah lima orang. Kehadiran mereka telah menghapus ingatan Dayang Kumunah kepada “ayahnya”. Ia pun kembali bahagia hidup bersama suami dan kelima anaknya.

Namun, Awang Usop merasa kebahagiaan mereka kurang lengkap sebelum melihat Dayang Kumunah tertawa. Memang, sejak pertama kali bertemu hingga kini, Awang Usop belum pernah melihat istrinya tertawa.

Suatu sore, Dayang Kumunah berkumpul bersama keluarganya di teras rumah. Saat itu, si Bungsu mulai dapat berjalan dengan tertatih-tatih. Semua anggota keluarga tertawa bahagia melihatnya, kecuali Dayang Kumunah. Awang Usop meminta istrinya ikut tertawa. Dayang Kumunah menolaknya, namun suaminya terus mendesak. Akhirnya ia pun menuruti keinginan suaminya. Saat tertawa itulah, tiba-tiba tampak insang ikan di mulutnya. Menyadari hal itu, Dayang Kumunah segera berlari ke arah sungai. Awangku Usop beserta anak-anaknya heran dan mengikutinya.

Sesampainya di tepi sungai, perlahan-lahan tubuh Dayang Kumunah menjelma menjadi ikan dan segera melompat ke dalam air. Awang Usop pun baru menyadari kekhilafannya. “Maafkan aku, istriku! Aku sangat menyesal telah melanggar janjiku sendiri, karena memintamu untuk tertawa. Kembalilah ke rumah, istriku!” bujuk Awangku Usop.

Namun, semua sudah terlambat. Dayang Kumunah telah terjun ke sungai. Ia telah menjadi ikan dengan bentuk badan cantik dan kulit mengilat tanpa sisik. Mukanya menyerupai raut wajah manusia. Ekornya seolah-olah sepasang kaki manusia yang bersilang. Orang-orang menyebutnya ikan patin.

Sebelum menyelam ke dalam air, Dayang Kumunah berpesan kepada suaminya, “Kanda, peliharalah anak-anak kita dengan baik.”

Awangku Usop dan anak-anaknya sangat bersedih melihat Dayang Kumunah yang sangat mereka cintai itu telah menjadi ikan. Mereka pun berjanji tidak akan makan ikan patin, karena dianggap sebagai keluarga mereka. Itulah sebabnya sebagian orang Melayu tidak makan ikan patin.

Asal Mula Nama Palembang


Pada zaman dahulu, daerah Sumatra Selatan dan sebagian Provinsi Jambi berupa hutan belantara yang unik dan indah. Puluhan sungai besar dan kecil yang berasal dari Bukit Barisan, pegunungan sekitar Gunung Dempo, dan Danau Ranau mengalir di wilayah itu. Maka, wilayah itu dikenal dengan nama Ba*tanghari Sembilan. Sungai besar yang mengalir di wilayah itu di antaranya Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Ogan, Sungai Rawas, dan beberapa sungai yang bermuara di Sungai Musi. Ada dua Sungai Musi yang bermuara di laut di daerah yang berdekatan, yaitu Sungai Musi yang melalui Palembang dan Sungai Musi Banyuasin agak di sebelah utara.
Karena banyak sungai besar, dataran rendah yang melingkar dari daerah Jambi, Sumatra Selatan, sampai Provinsi Lampung merupakan daerah yang banyak mempunyai danau kecil. Asal mula danau-danau kecil itu adalah rawa yang digenangi air laut saat pasang. Sedangkan kota Palembang yang dikenal sekarang menurut sejarah adalah sebuah pulau di Sungai Melayu. Pulau kecil itu berupa bukit yang diberi nama Bukit Seguntang Mahameru.
Keunikan tempat itu selain hutan rimbanya yang lebat dan banyaknya danau-danau kecil, dan aneka bunga yang tumbuh subur, sepanjang wilayah itu dihuni oleh seorang dewi bersama dayang-dayangnya. Dewi itu disebut Putri Kahyangan. Sebenarnya, dia bernama Putri Ayu Sundari. Dewi dan dayang-dayangnya itu mendiami hutan rimba raya, lereng, dan puncak Bukit Barisan serta kepulauan yang sekarang dikenal dengan Malaysia. Mereka gemar datang ke daerah Batanghari Sembilan untuk bercengkerama dan mandi di danau, sungai yang jernih, atau pantai yang luas, landai, dan panjang.
Karena banyaknya sungai yang bermuara ke laut, maka pada zaman itu para pelayar mudah masuk melalui sungai-sungai itu sampai ke dalam, bahkan sampai ke kaki pegunungan, yang ternyata daerah itu subur dan makmur. Maka terjadilah komunikasi antara para pedagang termasuk pedagang dari Cina dengan penduduk setempat. Daerah itu menjadi ramai oleh perdagangan antara penduduk setempat dengan pedagang. Akibatnya, dewi-dewi dari kahyangan merasa terganggu dan mencari tempat lain.
Sementara itu, orang-orang banyak datang di sekitar Sungai Musi untuk membuat rumah di sana. Karena Sumatra Selatan merupakan dataran rendah yang berawa, maka penduduknya membuat rumah yang disebut dengan rakit.
Saat itu Bukit Seguntang Mahameru menjadi pusat perhatian manusia karena tanahnya yang subur dan aneka bunga tubuh di daerah itu. Sungai Melayu tempat Bukit Seguntang Mahameru berada juga menjadi terkenal.
Oleh karena itu, orang yang telah bermukim di Sungai Melayu, terutama penduduk kota Palembang, sekarang menamakan diri sebagai penduduk Sungai Melayu, yang kemudian berubah menjadi pen*duduk Melayu.
Menurut bahasa Melayu tua, kata lembang berarti dataran rendah yang banyak digenangi air, kadang tenggelam kadang kering. Jadi, penduduk dataran tinggi yang hendak ke Palembang sering me*ngatakan akan ke Lembang. Begitu juga para pendatang yang masuk ke Sungai Musi mengatakan akan ke Lembang.
Alkisah ketika Putri Ayu Sundari dan pengiringnya masih berada di Bukit Seguntang Mahameru, ada sebuah kapal yang mengalami kecelakaan di pantai Sumatra Selatan. Tiga orang kakak beradik itu ada*lah putra raja Iskandar Zulkarnain. Mereka selamat dari kecelakaan dan terdampar di Bukit Seguntang Mahameru.
Mereka disambut Putri Ayu Sundari. Putra tertua Raja Iskandar Zulkarnain, Sang Sapurba kemudian menikah dengan Putri Ayu Sundari dan kedua saudaranya menikah dengan keluarga putri itu.
Karena Bukit Seguntang Mahameru berdiam di Sungai Melayu, maka Sang Sapurba dan istrinya mengaku sebagai orang Melayu. Anak cucu mereka kemudian berkembang dan ikut kegiatan di daerah Lembang. Nama Lembang semakin terkenal. Kemudian ketika orang hendak ke Lembang selalu mengatakan akan ke Palembang. Kata pa dalam bahasa Melayu tua menunjukkan daerah atau lokasi. Pertumbuhan ekonomi semakin ramai. Sungai Musi dan Sungai Musi Banyuasin menjadi jalur per*dagangan kuat terkenal sampai ke negara lain. Nama Lembang pun berubah menjadi Palembang.

Rabu, 28 Mei 2014

Legenda Batu Menangis


Disebuah bukit yang jauh dari desa, didaerah Kalimantan hiduplah seorang janda miskin dan seorang anak gadisnya.

Anak gadis janda itu sangat cantik jelita. Namun sayang, ia mempunyai prilaku yang amat buruk. Gadis itu amat pemalas, tak pernah membantu ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Kerjanya hanya bersolek setiap hari.
Selain pemalas, anak gadis itu sikapnya manja sekali. Segala permintaannya harus dituruti. Setiap kali ia meminta sesuatu kepada ibunya harus dikabulkan, tanpa memperdulikan keadaan ibunya yang miskin, setiap hari harus membanting tulang mencari sesuap nasi.

Pada suatu hari anak gadis itu diajak ibunya turun ke desa untuk berbelanja. Letak pasar desa itu amat jauh, sehingga mereka harus berjalan kaki yang cukup melelahkan. Anak gadis itu berjalan melenggang dengan memakai pakaian yang bagus dan bersolek agar orang dijalan yang melihatnya nanti akan mengagumi kecantikannya. Sementara ibunya berjalan dibelakang sambil membawa keranjang dengan pakaian sangat dekil. Karena mereka hidup ditempat terpencil, tak seorangpun mengetahui bahwa kedua perempuan yang berjalan itu adalah ibu dan anak.

Ketika mereka mulai memasuki desa, orang-orang desa memandangi mereka. Mereka begitu terpesona melihat kecantikan anak gadis itu, terutama para pemuda desa yang tak puas-puasnya memandang wajah gadis itu. Namun ketika melihat orang yang berjalan dibelakang gadis itu, sungguh kontras keadaannya. Hal itu membuat orang bertanya-tanya.
Di antara orang yang melihatnya itu, seorang pemuda mendekati dan bertanya kepada gadis itu, “Hai, gadis cantik. Apakah yang berjalan dibelakang itu ibumu?”
Namun, apa jawaban anak gadis itu ?
“Bukan,” katanya dengan angkuh. “Ia adalah pembantuku !”
Kedua ibu dan anak itu kemudian meneruskan perjalanan. Tak seberapa jauh, mendekati lagi seorang pemuda dan bertanya kepada anak gadis itu.
“Hai, manis. Apakah yang berjalan dibelakangmu itu ibumu?”
“Bukan, bukan,” jawab gadis itu dengan mendongakkan kepalanya. ” Ia adalah budakk!”
Begitulah setiap gadis itu bertemu dengan seseorang disepanjang jalan yang menanyakan perihal ibunya, selalu jawabannya itu. Ibunya diperlakukan sebagai pembantu atau budaknya.
Pada mulanya mendengar jawaban putrinya yang durhaka jika ditanya orang, si ibu masih dapat menahan diri. Namun setelah berulang kali didengarnya jawabannya sama dan yang amat menyakitkan hati, akhirnya si ibu yang malang itu tak dapat menahan diri. Si ibu berdoa.
“Ya Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba begitu teganya memperlakukan diri hamba sedemikian rupa. Ya, tuhan hukumlah anak durhaka ini ! Hukumlah dia….”
Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka itu berubah menjadi batu. Perubahan itu dimulai dari kaki. Ketika perubahan itu telah mencapai setengah badan, anak gadis itu menangis memohon ampun kepada ibunya.
” Oh, Ibu..ibu..ampunilah saya, ampunilah kedurhakaan anakmu selama ini. Ibu…Ibu…ampunilah anakmu..” Anak gadis itu terus meratap dan menangis memohon kepada ibunya. Akan tetapi, semuanya telah terlambat. Seluruh tubuh gadis itu akhirnya berubah menjadi batu. Sekalipun menjadi batu, namun orang dapat melihat bahwa kedua matanya masih menitikkan air mata, seperti sedang menangis. Oleh karena itu, batu yang berasal dari gadis yang mendapat kutukan ibunya itu disebut ” Batu Menangis “.

Demikianlah cerita berbentuk legenda ini, yang oleh masyarakat setempat dipercaya bahwa kisah itu benar-benar pernah terjadi. Barang siapa yang mendurhakai ibu kandung yang telah melahirkan dan membesarkannya, pasti perbuatan laknatnya itu akan mendapat hukuman dari Tuhan Yang Maha Kuasa
Versi lain
Kelahiran Putri dan Wulan yang berbeda setengah jam telah memiliki pertanda dari alam. Putri lahir ditengah cuaca yang mendadak berubah begitu buruk, sementara adiknya muncul saat cuaca membaik.
Setelah keduanya mulai tumbuh, barulah kelihatan perbedaan yang mencolok. Wulan berakhlak lembut, penyabar, dan pengasih sementara si sulung Putri berwatak buruk nan mencemaskan.
Kuatir dengan keadaan tersebut, Awang dan Sari memasukkan Putri ke sebuah pesantren dengan harapan anaknya bisa berubah. Sayang, perilaku Putri justru malah semakin menjadi tanpa bisa dikendalikan pemilik dan pengasuh pesantren.
Puncaknya terjadi saat Awang mengunjungi putri suluangnya, keteledoran Putri membuat gudang dimana ia biasa bermalas-malasan terbakar. Putri sendiri selamat, namun sang ayah yang berjibaku menyelamatkan buah hatinya harus mengalami cacat fisik permanen.
Takut bakal dihukum akibat perbuatannya, Putri melarikan diri dari pesantren dan jatuh ke perangkat Julig, seorang dukun yang ingin mencari tumbal kepala seorang bocah.
Rupanya, tumbal tersebut bakal digunakan untuk pembangunan sebuah resort di pinggir pantai yang dikelola Darwin seorang konglomerat. Beruntung, muncul pasangan jin penghuni hutan tepi pantai Ranggada dan Sugari yang menyelamatkan Putri sekaligus membunuh Julig dan Darwin.
Saat Awang dan Sari dibuat bingung mencari keberadaannya hingga menghabiskan banyak biaya, Putri malah hidup bersenang-senang di istana jin Ranggada dan Sugari dengan pekerjaan sebagai pendamping anak tunggal mereka Elok.
Sayangnya biarpun sudah dimanjakan oleh kedua orangtua angkatnya, kelakuan buruk Putri yang telah mendarah-daging tidak bisa hilang. Akhirnya suami-istri jin Ranggada dan Sugari sudah tidak tahan lagi, mereka mengusir Putri keluar dari istana jin.
Setelah sempat terlunta-lunta dan nyaris diperkosa pemuda berandal, Putri dipertemukan juga dengan Awang dan Sari serta adiknya Wulan. Pertemuan tersebut berlangsung mengharukan karena mereka telah berpisah selama lebih dari 10 tahun.
Lagi-lagi suasana tentram hanya berlangsung sesaat, Putri kembali berfoya-foya karena sudah terbiasa bergelimang kemewahan tanpa perduli dengan orangtuanya yang sudah terancam bangkrut.
Sikapnya terhadap keluarga juga sangat buruk. Selain memperlakukan Wulan dan sang ibu seperti pembantu, Putri juga melecehkan sang ayah yang cacat. Bahkan, Awang yang berusaha membela Wulan malah dicelakai Putri, yang tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun, hingga menemui ajalnya.
Di tengah kekacauan hidup dan ekonomi keluarga yang semakin morat-marit, apa yang harusnya terjadi tidak bisa dihindari lagi. Sang ibu akhirnya kehilangan kesabaran melihat kelakuan Putri. Yang lebih fatal, kemarahan kali ini jauh lebih parah daripada suami-istri jin Ranggada dan Sugari.
Tanpa sadar sang ibu mengucapkan sumpah atau kutuk. Akibatnya, Putri langsung menjadi sebuah patung batu yang terus mengucurkan air bening dari sepasang mata batunya. Konon, air itu adalah air mata dari penyesalan Putri yang sayangnya datang terlambat