Rabu, 01 Oktober 2014

Asal Usul Kota Surabaya

Dahulu, di lautan luas sering terjadi perkalihan antara ikan hiu Sura dengan Buaya. Mereka berkelahi hanya karena berebut mangsa. Keduanya sama-sama kuat, sama –sama tangkas, sama-sama cerdik, sama-sama ganas, dan sama-sama rakus. Sudah berkai-kali mereka berkelahi belum pernah ada yang menang atau pun yang kalah. Akhirnya mereka mengadakan kesepakatan.
      “Aku bosan terus-menerus berkelahi, Buaya.” kata ikan Sura.
      “Aku juga, Sura. Apa yang harus kita lakukan agar kita tidak lagi berkelahi ?” Tanya Buaya.
                Ikan Hiu Sura yang sudah memiliki rencana untuk menghentikan perkelahiannya dengan Buaya segera menerangkan.
                “Untuk mencegah perkelahian di antara kita, sebaiknya kita membagi daerah kekuasaan menjadi dua. Aku berkuasa sepenuhnya di dalam air dan harus mencari mangsa di dalam air, sedangkan kamu berkuasa di daratan dan mangsamu harus yang berada di daratan. Sebagai batas antara daratan dan air, kita tentukan batas nya, yaitu tempat yang dicapai oleh air laut pada waktu pasang surut ! “.
                “Baik aku setujui gagasanmu itu !” kata Buaya.
                Dengan adanya pembagian wilayah kekuasaan, maka tidak ada perkelahian lagi antara Sura dan Buaya. Keduanya telah sepakat untuk menghormati wilayah masing-masing.
                Tetapi pada suatu hari, ikan Hiu Sura mencari mangsa di sungai. Hal ini dilakukan dengan sembunyi-sembunyi agar Buaya tidak mengetahui. Mula-mula hal ini memang tidak ketahuan. Tetapi pada suatu hari Buaya memergoki perbuatan Ikan Hiu Sura ini. Tentu saja Buaya sangat marah melihat Ikan Hiu Sura melanggar janjinya.
                “ Hai Sura, mengapa kamu melanggar peraturan yang telah kita sepakati berdua ? mengapa kamu berani memasuki sungai yang merupakan wilayah kekuasaanku ?” Tanya Buaya. Ikan Hiu Sura yang tak merasa bersalah tenang-tenang saja.
                “ Aku melanggar kesepakatan ? Bukankah sungai ini berair. Bukankah aku sudah bilang bahwa aku adalah penguasa di air ? Nah sungai ini kan ada air nya, jadi juga termasuk daerah kekuasaanku !” Buaya ngotot.
                “ Tidak bisa, Aku kan tidak pernah bilang kalau di air hanya air laut, tetapi juga air sungai,” jawab Ikan Hiu Sura.
                “ Kau sengaja mencari gara-gara, Sura ?”
                “Tidak! Kukira alasanku cukup kuat dan aku memang di pihak yang benar!” kata Sura.
                “Kau sengaja mengakaliku. Aku tidak sebodoh yang kau kira!” kata Buaya mulai marah.
                “ Aku tak peduli kau bodoh atau pintar, yang penting air sungai dan air laut adalah kekuasaanku!” Sura tetap tak mau kalah.
                “Kalau begitu kamu memang bermaksud membohongiku ? Dengan demikian perjanjian kita batal ! Siapa yang memiliki kekuatan yang paling hebat, dialah yang akan menjadi penguasa tunggal !” kata Buaya.
                “Berkelahi lagi, siapa takuuut!” tantang Sura dengan pongahnya.
                Pertarungan sengit antara Ikan Hiu Sura dan Buaya terjadi lagi. Pertarungan kali ini semakin seru dan dahsyat. Saling menerjang dan menerkam, saling menggigit dan memukul. Dalam waktu sekejap, air di sekitarnya menjadi merah oleh darah yang keluar dari luka-luka kedua binatang itu. Mereka terus bertarung mati-matian tanpa istirahat sama sekali.
                Dalam pertarungan dahsyat ini, Buaya mendapat gigitan Ikan Hiu Sura di pangkal ekornya sebelah kanan. Selanjutnya, ekornya itu terpaksa selalu membelok ke kiri. Sementara Ikan Sura juga tergigit ekornya hingga hampir putus lalu ikan Sura kembali ke lautan. Buaya puas telah dapat mempertahankan daerahnya.
                Pertarungan antara Ikan Hiu yang bernama Sura dengan Buaya ini sangat berkesan di hati masyarakat Surabaya. Oleh karena itu, nama Surabaya selalu di kait-kaitkan dengan peristiwa ini. Dari peristiwa inilah kemudian dibuat lambang kota Madya Surabaya yaitu gambar Ikan Sura dan Buaya.
                Namun ada juga yang berpendapat Surabaya berasal dari kata Sura dan Baya. Sura berarti Jaya atau selamat Baya berarti bahaya, jadi Surabaya berarti selamat menghadapi bahaya. Bahaya yang dimaksud adalah serangan tentara Tar-Tar yang hendak menghukum Raja Jawa. Seharusnya yang di hukum adalah Kartanegara, karena Kartanegara sudah tewas terbunuh, maka Jayakatwang yang di serbu oleh tentara Tar-Tar merampas harta benda dan puluhan gadis-gadis cantik untuk dibawa ke Tiongkok. Raden Wijaya tidak terima diperlakukan seperti ini. Dengan siasat yang jitu, Raden Wijaya menyerang tentara Tar-Tar di pelabuhan Ujung Galuh hingga mereka menyingkir kembali ke Tiongkok.
                Surabaya sepertinya sudah ditakdirkan untuk terus bergolak. Tanggal 10 Nopember 1945 adalah bukti jati diri warga Surabaya yaitu berani menghadapi bahaya serangan Inggris dan Belanda.
                Di jaman sekarang, pertarungan memperebutkan wilayah air dan darat terus berlanjut. Di kala musim penghujan tiba kadangkala banjir menguasai kota Surabaya. Di musim kemarau kadang kala tempat-tempat genangan air menjadi daratan kering. Itulah Surabaya.


Asal Muasal Kota Minangkabau

Suatu siang di sebuah kawasan di Ranah Minang, puluhan warga memadati arena pertandingan. Di tengah lapangan, dua ekor kerbau kekar saling berhadapan. Mereka akan diadu untuk ditetapkan sebagai sang juara.

Itulah sepintas adu kerbau yang menjadi budaya turun-temurun masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat. Budaya warisan leluhur yang telah berlangsung ratusan tahun itu sampai kini masih dijaga dengan baik oleh masyarakat Minang.

Minangkabau, suku besar di wilayah Sumatera Barat ini kaya akan warisan sejarah dan budaya. MinangKabau diambil dari kata Minang, yang berarti kemenangan, dan Kabau, yang berarti kerbau. Dengan kata lain MinangKabau berarti “Kerbau yang Menang”.

Penamaan ini berhubungan erat dengan sejarah terbentuknya MinangKabau yang diawali kemenangan dalam suatu pertandingan adu kerbau untuk mengakhiri peperangan melawan kerajaan besar dari Pulau Jawa.

Suku MinangKabau memang mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan hewan ternak berkaki empat yang disebut kerbau. Itu antara lain terlihat pada berbagai identitas budaya Minang, seperti atap rumah tradisional mereka (Rumah Bogonjong). Rumah adat yang kerap disebut juga Rumah Gadang itu berbentuk seperti tanduk kerbau. Begitu pula pada pakaian wanitanya (Baju Tanduak Kabau).

Sudah beratus-ratus tahun lamanya kerbau menjadi salah satu hewan terfavorit di Provinsi Sumbar. Badan kerbau yang besar dan kekar dianggap mampu membantu berbagai macam pekerjaan manusia. Salah satu pekerjaan kuno yang dikerjakan dengan bantuan tenaga kerbau adalah menggiling tebu.

Dengan alat sederhana, sang kerbau diikat di sebilah bambu yang terhubung pada alat pemeras tebu tradisional. Selama delapan jam bekerja, sang kerbau terus-menerus berputar mengelilingi alat pemeras. Uniknya, agar sang kerbau tidak pusing kepala, mata hewan itu ditutup dengan dua buah batok kelapa yang dilapisi kain.

Air tebu hasil perasan sang kerbau itulah yang kemudian menjadi cikal bakal pembuatan gula merah tradisional. Masyarakat Minang percaya, gula merah hasil kerja keras sang kerbau lebih gurih ketimbang dari alat modern.

Dari sisi sejarah, hewan kerbau bagi suku besar di SumBar ini, telah mengantarkan kejayaan mereka di masa silam. Konon, dahulu kala karena bantuan kerbau-lah masyarakat di SumBar menang perang melawan suku Jawa. Akhirnya sampai sekarang, mereka menamakan dirinya sebagai suku MinangKabau.

“Jadi perang tak berakhir juga, kami usulkan untuk adu kerbau saja. Oleh pihak penyerang dicarilah kerbau yang terbesar di daerahnya, dan ditempatkan di tengah ladang. Orang sini hanya anak kerbau yang sedang menyusu, yang disisipkan mata pisau di mulutnya. Karena anak kerbau yang sudah dua hari tak minum susu, dia lari mengejar kerbau besar yang dikiranya susu ibunya. Jadi, perut kerbau besar itu robek dan dia lari sampai mati,” kisah Datuk Bandaro Panjang, pemuka adat.

Kisah sang kerbau ternyata tak hanya menjadi legenda semata. Hingga kini, pasar ternak di Sumbar pun lebih banyak menjual kerbau ketimbang sapi. Sistem penjualan ternak orang Minang pun cukup unik.

Berbeda dengan pasar sayur tradisional di pasar ternak ini tidak akan terdengar sepatah kata pun antara sang penjual dan pembeli. Transaksi yang berlaku hanya menggunakan isyarat tangan, jari-jari tangan dipakai sebagai alat perhitungan harga jual ternak yang akan dibeli.

Badan padat, kaki kekar dan mata tajam. Itulah ciri khas Si Borgol, kerbau kesayangan Kati Sutan, petani Ranah Minang. Bagi Kati Sutan, memiliki kerbau seperti Borgol ibarat memiliki harta yang sangat berharga dan juga kehormatan.

Borgol bukanlah sembarang kerbau, ia seekor kerbau aduan yang sudah menang lima kali pertandingan. Karena kehebatan itulah, hewan tersebut kemudian mendapat gelar borgol yang berarti kuat mengunci lawan.

Tak hanya untuk hobi semata, kesenangan Kati Sutan mengikuti adu kerbau juga untuk meneruskan tradisi budaya Minangkabau. Ketangguhan Si Borgol yang sudah lima kali memenangkan pertandingan itu, membuat Kati Sutan terkenal di kampungnya.

Setelah berumur dua tahun, kerbau yang memiliki potensi sebagai aduan biasanya mulai dilatih oleh pemiliknya. Kali ini, Borgol pun akan dilatih untuk mempersiapkan kekuatan fisiknya menjelang pertandingan. Calon lawan tanding latihan harus sesuai berat tubuh Si Borgol. Sebab jika tidak imbang, latihan tarung itu akan percuma.

Latihan tarung kerbau paling lama dilakukan selama satu jam. Setelah yakin akan kekuatan Borgol, latihan tarung dihentikan. Kati Sutan sangat yakin kerbaunya akan menang kembali. Dalam adu kerbau tak hanya kekuatan kerbau yang menjadi andalan. Pemilik kerbau juga harus meminta jampi-jampi kepada dukun kerbau agar menang dalam pertandingan.

Seusai latihan tarung, Kati Sutan pun meminta seorang dukun kerbau untuk menjampi-jampi Si Borgol. Seperti pertandingan sebelumnya, Kati Sutan meminta bantuan Sutan Marajo, dukun adu kerbau yang terkenal di kampungnya. Sang dukun membawa sejumlah bahan-bahan alam untuk membuat jamu andalan bagi Si Borgol.

Bahan-bahan alam yang terdiri dari jahe, temulawak, lada dan daun-daunan alam lainnya mulai diracik. Di atas api besar, jamu-jamuan itu disangrai hingga gosong. Sementara keluarga Kati Sutan pun ikut membantu. Bahan lain untuk campuran jamu, seperti telur bebek, air jeruk nipis, minuman suplemen dan satu botol bir hitam turut disiapkan.

Setelah semua bahan siap, Sutan Marajo pun mulai membacakan mantera dan membakar kemenyan. Ia berdoa agar kerbau yang dijampinya dapat memenangkan pertandingan. Jampi-jampi pun dicampur ramuan.

Setelah itu, ramuan kemudian ditempatkan di selembar daun yang keesokan harinya akan diberikan kepada Si Borgol. Keluarga Kati Sutan pun lantas mempersiapkan Borgol sang jagoan untuk diadu keesokan harinya.

Hari pertandingan pun tiba. Kati Sutan mulai bersiap-siap. Namun, sebelum berangkat ke arena pertandingan, masih ada sejumlah ritual yang harus dilakukan sang dukun, yakni meruncingkan tanduk milik Si Borgol.

Tanduk merupakan salah satu bagian tubuh kerbau yang paling mudah untuk melukai lawan. Karenanya, harus dibuat setajam mungkin. Dengan sebilah pisau Sutan Marajo menajamkan tanduk Si Borgol. Kini tanduk sang kerbau telah tajam laksana pedang.

Ritual pun dilanjutkan. Seperti layaknya manusia, Borgol harus mandi dahulu sebelum maju ke arena pertarungan. Sambil membalurkan air ke tubuh Borgol, Sutan Marajo merapalkan jampi-jampi ajiannya agar jagoan Kati Sutan ini kuat melawan musuh.

Sesudah acara mandi selesai, sang dukun memberikan ramuan jampi-jampinya yang dibuat kemarin sore. Tanpa melawan, Borgol pun kemudian memakan ramuan sang dukun dengan lahapnya. Tak lupa tubuh tegap Borgol pun dibaluri lumpur dan jelaga agar terlihat gagah. Kini seluruh persiapan telah usai dilaksanakan. Borgol sang jagoan sudah tak sabar bertemu lawan tandingan.

Siang itu di bawah sinar matahari, Borgol dilepas dari kandangnya. Bak seorang jagoan, dengan gagahnya Borgol berjalan keliling kampung menuju arena pertandingan.

Letak arena pertandingan sekitar tujuh kilometer dari desa Kati Sutan. Namun, ditemani sang dukun Sutan Marajo, Borgol tak gentar berjalan. Bahkan sesekali, kerbau kekar itu mulai berlari seakan tak sabar untuk bertemu sang penantang.

Akhirnya, sampai juga Borgol di lokasi pertandingan. Rupanya sang lawan telah menunggu di pojok arena. Lawan tangguh Borgol tersebut berasal dari desa tetangga. Berbeda dengan Borgol yang sudah ikut lima kali pertandingan, lawannya justru baru kali ini maju ke arena adu kerbau.

Satu per satu penonton mulai berdatangan ke arena. Dengan tarif sebesar Rp3.000,- penonton dapat memilih tempat yang paling nyaman di sekeliling gelanggang.

Awalnya, adu kerbau dilakukan untuk mempertahankan tradisi suku Minangkabau, sayang belakangan acara adu kerbau justru dimanfaatkan para penontonnya untuk bertaruh atau berjudi. Begitu pula dalam pertandingan Borgol, dan Borgol-lah yang dijagokan, hampir seluruh penonton bertaruh Borgol sang jagoan akan memenangkan pertandingan.

Saat yang ditunggu-tunggu pun tiba, dua kerbau aduan dibawa ke tengah lapangan. Dan tanpa menunggu aba-aba lagi, kedua kerbau langsung saling mengejar. Tak disangka, Borgol yang dijagokan justru lari terbirit-birit menghindari lawan.

Adu kerbau kali ini, ternyata tak berjalan lama. Hanya dalam sekejap, Borgol menyerah kalah dan lari tunggang langgang ke luar arena. Para penonton pun pulang dengan penuh kekecewaan. Borgol sang jagoan ternyata tak mampu mempertahankan gelarnya. Rona kecewa juga terpancar di wajah Kati Sutan. Kekalahan Borgol seakan kehilangan kehormatan bagi keluarga Kati Sutan.